Minggu, 21 April 2013

peradilan tipikor di indonesia

TIPIKOR DAN
PENGERTIANNYA Di Indonesia korupsi bukanlah hal
baru, seolah kurupsi adalah gaya
hidup orang-orang yang punya
kekuasaan. Semakin anti korupsi
disuarakan semakin dahsyat pula
korupsi yang terjadi di Negeri ini. Korupsi itu sendiri sudah ada sejak
tahun 1950-an. Dengan melihat latar
belakang timbulnya korupsi, salah
satu faktor yang menyebabkan
meningkatnya aktivitas korupsi di
beberapa negara disebabkan terjadinya perubahan politik yang
sistemik, sehingga tidak saja
memperlemah atau menghancurkan
lembaga sosial politik, tetapi juga
lembaga hukum. Istilah Korupsi berasal dari kata
latin ”corruptio” atau ”corruptus”
yang berarti kerusakan atau
kebobrokan, atau perbuatan tidak
jujur yang dikaitkan dengan
keuangan. Sementara itu, dalam bukunya The
Sociology of Corruption, Syeh Hussein
Alatas, mengemukakan pengertian
korupsi dengan menyebutkan benang
merah yang menjelujuri dalam
aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah
kepentingan tujuan-tujuan pribadi
yang mencakup pelanggaran norma-
norma, tugas, dan kesejahteraan umum,
dibarengi dengan kerahasian,
penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan
akibat yang diderita oleh masyarakat.
Menurutnya, “corruption is the abuse
of trust in the interest of private
gain” yakni penyelahgunaan amanah
untuk kepentingan pribadi. Lebih lanjut Hussein Alatas,
menyebutkan tipe korupsi dalam
prakteknya meliputi ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Korupsi selalu dilakukan lebih
dari satu orang. 2. Korupsi pada umumnya dilakukan
penuh kerahasiaan.
3. Korupsi melibatkan elemen
kewajiban dan keuntungan timbal
balik.
4. Korupsi dengan bebagai macam akal berlindung dibalik pembenaran
hukum.
5. Mereka yang terlibat korupsi
adalah yang menginginkan keputusan
yang tegas dan mereka mampu
mempengaruhi keputusan. 6. Tindakan korupsi mengandung
penipuan baik pada badan publik
atau masyarakat umum.
7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu
penghianatan kepercayaan.
8. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan itu.
9. Suatu perbuatan korupsi melanggar
norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan
masyarakat Dalam ketentuan Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Korupsi tidak ditemukan pengertian
tentang korupsi. Akan tetapi, dengan
memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik formil,
maka Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-
Udang No. 31 Tahun 1999 mengatur
secara tegas mengenai unsur-unsur
pidana dari tindak pidana korupsi
dimaksud. Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan sebagai
berikut : “Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonoman negara...” Selanjutnya
dalam Pasal 3 Undang-Udang No. 31
Tahun 1999, menyatakan : “Setiap
orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian
negara...” Definisi yuridis di atas merupakan
batasan formal yang ditetapkan oleh
badan atau lembaga formal yang
memiliki wewenang untuk itu di suatu
negara. Oleh karena itu, batas-batas
korupsi sangat sulit dirumuskan dan tergantung pada kebiasaan maupun
undang-undang domestik suatu negara.
Korupsi pertama kali dianggap
sebagai tindak pidana di Indonesia
berdasarkan Undang-Undang No. 24
Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi. Dalam kenyataannya
undang-undang ini tidak mampu
melaksanakan tugasnya sehingga
dicabut dan diganti dengan Undang-
Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dan terakhir sejak tanggal
16 Agustus 1999 diganti dengan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Tujuan pemerintah dan pembuat
undang-undang melakukan revisi atau
mengganti produk legislasi tersebut
merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam
pemberantasan korupsi, agar dapat
menjangkau berbagai modus operandi
tindak pidana korupsi dan
meminimalisir celah-celah hukum,
yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melepaskan diri dari jeratan
hukum.
Dalam pengertian yuridis, Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, memberikan batasan
tentang pengertian Tindak Pidana
Korupsi dengan cakupan yang lebih
luas sehingga meliputi berbagai
tindakan termasuk tindakan ”penyuapan”, yang dapat dipahami
dari bunyi teks pasal-pasalnya,
kemudian mengelompokannya ke
dalam beberapa rumusan delik.
Dengan memahami hal tersebut
diharapkan segala tindakan hukum dalam rangka pemberantaan korupsi
akan terwujud, baik dalam bentuk
pencegahan (preventif) maupun
tindakan (represif). Pemberantasan
korupsi tidak hanya memberikan efek
jera bagi pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal.

0 komentar: