This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 19 Desember 2012

makalah muamalah ttg wadi'ah


iqih muamalah ttg wadi'ah
Bab 6 Wadi’ah (Titipan)
A. PENGERTIAN
Akar kata dari Wadiah adalah wada’a yang artinya menitipkan sesuatu kepada seseorang. Akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang/uang tersebut.
1. Secara bahasa
Ada 2 makna :
1. Ma wudi’a ‘inda ghair malikihi layahfadzahu : Sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaganya, berarti bahwa al-wadi’ah ialah memberikan.
2. Qabiltu minhu dzalika al-mal liyakuna wadi’ah ‘indi : seperti seseorang berkata “auda’tuhu” artinya aku menerima harta tersebut darinya.
Maka secara bahasa al-wadi’ah memiliki 2 makna yaitu memberikan harta untuk dijaganya dan pada penerimaannya (I’tha’u al-mal liyahfadzahu wa fi qabulihi). (Al-Fiqh ‘ala mazahib al-‘arabah, Abdurrahman al-jazairi, 1417 H, hal. 248)
2. Secara istilah (fiqih)
a. Menurut Syafi’iyah : Akad yang dilaksanakan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan.
b. Menurut Hanabilah : Titipan, perwakilan dalam pemeliharaan sesuatu secara bebas (tabarru)
Maka secara istilah al’wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana mestinya maka penerima titipan tidak wajib menggantinya tetapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka ia wajib menggantinya.
B. LANDASAN SYARIAH
Para ulama sepakat bahwa wadi’ah adalah salah satu akad dalam rangka tolong-menolong antara sesama manusia. Dasar-dasar hukum wadia’ah yaitu :
1. Al-Qur’an
Al-Wadi’ah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik memintanya kembali.
Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (Qs. An-Nisa 4:58)
Allah Swt berfirman, “…Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (titipannya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Tuhannya…” (Qs. Al Baqarah 2:283)
2. As-Sunnah
Rasulullah Saw bersabda, “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi menurut hadist ini hasan sedangkan Imam Hakim mengkategorikannya shahih).
3. Ijma
Ibnu Qudamah rh menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah Saw sampai generasi berikutnya, wadi’ah telah menjadi ijma’ ‘amali yaitu konsensus dalam praktek bagi umat Islam dan tidak ada orang yang mengingkarinya.
Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah berijma (konsensus) akan legitimasi al-Wadiah, karena kebutuhan manusia terhadapnya hal ini jelas terlihat seperti yang dikutip Dr. Wehbah Azzuhaily dalam al Fiqh al Islami wa adillatuhu dari al-Mughni wa syarh Kabir Li Ibn Qudamah dan al-Mabsuth Imam Sarakshsy.
C. RUKUN-RUKUN WADI’AH
Jumhur ulama mengatakan bahwa rukun wadi’ah ada 3 :
1. Orang yang berakad, yaitu terdiri dari :
1. Pemilik barang/penitip (Muwaddi’)
2. Pihak yang menyimpan/dititipi (Mustauda’)
2. Barang/uang yang disimpan (Wadi’ah)
3. Ijab qobul/kata sepakat (Sighat)
D. SYARAT-SYARAT WADI’AH
1. Orang yang berakad harus :
- Baligh
- Berakal
- Cerdas (‘alim)
2. Barang titipan
- Jelas (dapat diketahui jenis atau identitasnya)
- Dapat dipegang
- Dapat dikuasai untuk dipelihara
E. SIFAT AKAD WADI’AH
Para ulama sepakat bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat kedua belah pihak. Akan tetapi apakah tanggung jawab memelihara barang itu bersifat amanat atau dhamaan (ganti rugi)?
Para ulama sepakat bahwa status wadi’ah bersifat amanat, bukan dhamaan, sehingga kerusakan penitipan tidak menjadi tanggung jawab mustawda’ (pihak yang dititipi). Amanat berubah menjadi dhamaan kalau kerusakan itu terjadi karena kesengajaan.
Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin kecuali bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya.
Rasulullah Saw bersabda, “Siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin”. (HR Daruquthni)
Rasulullah Saw bersabda, “TIdak ada kewajiban menjamin untuk orang yang diberi amanat”. (HR Baihaqi)
Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan ganti rugi atas mustawda’ (pihak yang dititipi) maka akad itu tidak sah. Kemudian mustawda’ harus menjaga amanat dengan baik dan tidak boleh menuntut upah (jasa) dari muwaddi’ (pemilik barang/penitip).
E. HUKUM MENERIMA BENDA TITIPAN
Hukum menerima benda-benda titipan ada 4 macam yaitu :
1. Sunat
Disunnatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya. Al-Wadi’ah adalah salah satu bentuk tolong menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, tolong menolong secara umum hukumnya sunnat.
Hal ini dianggap sunnat menerima benda titipan ketika ada orang lain yang pantas pula untuk menerima titipan.
2. Wajib
Diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain tidak ada seorangpun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut.
3. Haram
Apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan. Bagi orang seperti ini diharamkan menerima benda-benda titipan sebab dengan menerima benda titipan berarti memberikan kesempatan (peluang) kepada kerusakan atau hilangnya benda-benda titipan sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan.
4. Makruh
Bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga benda-benda titipan tetapi ia kurang yakin (ragu) pada kemampuannya, maka bagi orang seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda titipan sebab dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda-benda titipan atau menghilangkannya.
(Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid, 1976, hal. 315)
F. JENIS-JENIS WADIAH
1. Wadiah yadh amanah
yaitu titipan murni, yang artinya orang yang diminta untuk menjaga barang titipan tersebut diberikan amanah atau kepercayaan untuk menjaga barang tersebut dari segala hal yang dapat merusaknya.
Akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan.
Tangan yang amanah; Titipan murni tanpa ganti rugi; Termasuk bagian dari wadi’ah (titipan). Dengan konsep wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman.
Pada saatnya barang titipan tersebut diminta kembali oleh pemiliknya, yang menjaga barang titipan tersebut harus mengembalikannya dalam keadaan utuh seperti sediakala. Barang titipan tersebut tidak boleh digunakan atau dipindahkan kepada pihak lain oleh penjaganya untuk mendapatkan keuntungan.
Ketentuan pokok pada operasional wadi’ah yad al-amanah :
(i) Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan;
(ii) Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya;
(iii) Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan.
2. Wadiah yadh dhamanah
Akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dapat memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan.
Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang/uang tersebut menjadi hak penerima titipan.
Tangan yang menanggung; Titipan dengan resiko ganti rugi. Sebagai konsekuensi dari yad ad-dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut milik mustawda’ (demikian juga ia adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian).
Titipan dengan garansi, yang artinya mustawda’ (orang yang mendapat titipan barang/uang tersebut) dapat menggunakan atau memanfaatkannya sebagai modal untuk mendapat keuntungan, sepanjang barang/uang tersebut dapat dipastikan (garansi) akan dikembalikan kepada pemiliknya dalam keadaan utuh.
Dimana mustauda’ dapat memanfaatkan dana dari muwaddi’ untuk dikelola dan mustawda’ dapat menjamin dana tersebut kembali pada muwaddi’ dalam keadaan utuh atau tidak berkurang sepeserpun.
Apabila mustauda’ mendapatkan keuntungan dan ingin membagikan kepada muwaddi’, mustauda’ bisa memberikannya sebagian keuntungannya itu sebagai hibah (hadiah) kepada muwaddi’, dengan catatan, pembagian keuntungan tersebut tidak diperjanjikan di muka atau sebelum mustauda’ memanfaatkan dana muwaddi’ tersebut.
Ketentuan pokok dalam operasional wadi’ah yad ad-dhamanah:
(i) Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan;
(ii) Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat,
G. RUSAK DAN HILANGNYA BENDA TITIPAN
Jika mustauda’ (orang yang menerima titipan) mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya, maka ucapannya harus disertai sumpah supaya perkataannya itu kuat kedudukannya menurut hukum.
Namun Ibnu Munzir rh berpendapat bahwa orang tersebut di atas sudah dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah.
Menurut Ibnu Taimiyah rh, apabila seseorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara hartanya yang ia kelola tidak ada yang mencuri, maka mustauda’ tersebut wajib menggantinya.
Pendapat Ibnu Taimiyah rh ini berdasarkan pada atsar bahwa Umar ra pernah meminta jaminan dari Anas bin Malik ra ketika barang titipannya yang ada pada Anas bin Malik ra dinyatakan hilang, sedangkan harta Anas ra masih ada.
Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda titipan dan benda-benda titipan tersebut tidak ditemukan maka ini menjadi hutang bagi penerima titipan dan wajib dibayar oleh ahli warisnya.
Bila seseorang menerima benda-benda titipan sudah sangat lama waktunya sehingga ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemiliknya benda-benda tersebut dan sudah berusaha mencarinya namun tidak dapat diperoleh keterangan yang jelas maka benda-benda tersebut dapat digunakan untuk kep



WADI'AH

Tuesday, 03 March 2009 02:15
WADI`AH DALAM PERBANKAN SYARIAH


A. SEKILAS TENTANG BANK SYARI`AH
Sebelum pemakalah mengungkapkan lebih jauh tentang apa isi bahan pemakalah kali ini yaitu tentang WADI`AH, ada baiknya pemakalah mengupas sedikit tentang sejarah berdirinya perbankan syari`ah sebagai tempatnya Wadi`ah sarana ummat islam dalam pengimpestasian dananya sekaligus tempat penyimpanan dengan alasan keamanan.
Perbankan Syari`ah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaisance Islam modern yaitu NEOREVIVALIS dan MODERNIS. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya yang berlandaskan Al Qur`an dan As Sunnah.
Bank Syari’ah pertama kali muncul pada tahun 1963 sebagai pilot project dalam bentuk bank tabungan pedesaan di kota kecil Mit Ghamr, Mesir. Percobaan berikutnya terjadi di Pakistan pada tahun 1965 dalam bentuk koperasi.
Upaya awal penerapan sistem profit dan los sharing (dalam perbankan syari1ah) adalah yang pertama di Pakistan pada awal bulan Juli tahun 1979. Tahun 1979-1980 Pakistan mensosialisasikan skema pinjam tanpa bunga kepada Petani dan Nelayan. Tahun 1981 mulai beroperasi 7000 cabang Bank Komersial Nasional dengan menggunakan sistem syari`ah, dan pada awal tahun 1985 seluruh Perbankan konvensional Pakistan di konversi dengan peraturan baru yaitu Sistem Perbankan Syari`ah.
Di Asia Tenggara sistem perbankan Syari`ah dipelopori oleh Malaysia dengan BIMB (Bank Islam Malaysia Berhad), berdiri tahun 1983 dan akhir tahun 1999 BIMB memiliki +-70 cabang di Malaysia. Sebelumnya telah dirintis perbankan syari`ah pada dekade 1960 dan beroperasi sebagai RURAL SOCIAL BANK dengan nama MIT GHAMR BANK oleh Prof. Dr. Ahmad Najjar, walaupun kecil namun telah mampu memicu para menlu Negara-negara Islam khususnya anggota OKI untuk melakukan hal yang sama dan telah terjadi beberapa pertemuan, diawali di Pakistan Desember 1970. Di Benghaji Libya Maret 1973 kembali diagendakan pada sidang menlu Oki yang khusus menangani ekonomi dan keuangan, didukung lagi oleh negara-negara Islam penghasil minyak yang mengadakan pertemuan di Jeddah Juli 1973.
Bulan Mei 1974 Negara-negara Islam dan negara OKI kembali mengadakan pertemuan tentang Bank Pembangunan Islam atau Islamic Depelopment dan telah-sampai pada penetapan AD/ARTnya, akhirnya di Jeddah 1975 oleh sidang Mentri Keuangan OKI menyetujui pendirian Bank Pembangunan Islamic (Islamic Developmen Bank (IDB) dengan anggota, semua anggota OKI dengan modal awal Rp 2 Miliar Dinar Islam.
Perkembangan Bank Syari`ah di negara Arab dan di Malaysia sangat berpengaruh ke Indonesia. Awal periode1980-an, mulailah dilakukan diskusi oleh tokoh-tokoh seperti : Karnaen, A. Perwataadmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M. Saefuddin, M. Amien Azis dan dilakukan uji coba dalam bentuk bank dengan mendirikan BAITUT TAMWIL SALMAN di Bandung dan bentuk koperasi didirikan koperasi RIDHO GUSTI di Jakarta.
Tahun 1990 diadakan pembahasan lebih khusus tentang bank syari`ah oleh MUI di Cisarua Bogor Jawa Barat dan dilanjutkan pada Munas Mui ke IV di Hotel Sahid Jaya Jakarta tanggal 22 – 25 Agustus 1990 dengan hasil membentuk tim untuk mendirikan Bank Islam Indonesia. Tanggal 1 November 1991 ditanda tanganilah akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia dengan saham 84 miliar rupiah. 1 Mei 1991 Bank Muamalat Indonesia beroperasi setelah Presiden menambah saham Bank Muamalat Indonesia menjadi Rp 106 126 382 000,00 diwaktu acara silaturrahmi tanggal 3 November 1991 di Bogor. Semenjak beroperasinya hingga September 1999 BMI telah memiliki 45 Autlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan dan Makasar. Bank Syari`ah Mandiri (BSM) adalah bank milik pemerintah yang pertama kali menerapkan landasan operasionalnya dengan landasan syari`ah. Itu dilakukan setelah bergulirnya masa reformasi dan telah dikeluarkannya UU. No. 10 Thn 1998 tentang landasan hukum dan jenis usaha. Ada beberapa jenis prodak bank syari`h pada waktu itu yang disosialisasikan namun yang paling menonjol adalah Wadi`ah dan Mudharobah. Jadi yang akan dibahas pemakalah pada makalah ini adalah WADI`AH (Depository)
B. PENGERTIAN WADIAH
Sebelum penulis melanjutkan pembahasan tentang pengertian wadi’ah, perlu disampaikan bahwa kegiatan penghimpunan dana bank syari’ah mempunyai beberapa produk, yakni: Wadi’ah dalam bentuk giro maupun tabungan, Qardh atau pinjaman kebajikan, dan Mudharabah atau bagi hasil dalam bentuk Deposito. Akan tetapi karena terbatasnya waktu, pada kesempatan ini penulis hanya mengulas tentang wadi’ah.
Pengertian Wadi`ah menurut bahasa adalah berasal dan akar kata Wada`a yang berarti meninggalkan atau titip. Sesuatu yang dititip baik harta, uang maupun pesan atau amanah. Jadi wadi`ah titipan atau simpanan. Para ulama pikih berbeda pendapat dalam penyampaian defenisi ini karena ada beberapa hukum yang berkenaan dengan wadi`ah itu seperti, Apabila sipenerima wadi`ah ini meminta imbalan maka ia disebut TAWKIL atau hanya sekedar menitip.
Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki.
Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.
C. DASAR HUKUM
Wadi`ah diterapkan mempunyai landasan hukum yang kuat yaitu dalam :
Al-Qur`nul Karim Suroh An-Nisa` : 58 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, …..”
Kemudian dalam Suroh Al Baqarah : 283 :
“…………. akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; …”.
Dalam Al-Hadits lebih lanjut yaitu :
Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalasnya khianat kepada orang yang menghianatimu.” (H.R. ABU DAUD dan TIRMIDZI).
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI)
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai (tanggung jawab) titipan. Ketika beliau akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.”
Dalam dasar hukum yang lain menerangkan yaitu IJMA` ialah para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan Ijma` (konsensus) terhadap legitimasi Al Wadi`ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini, seperti dikutip oleh:
• Dr. Azzuhaily dalam al-Fiqih al-Islami wa adillatuhu dalam kitab Al-Mughni Wa Syarh Kabir Li Ibni Qudhamah dan Mubsuth Li Imam Sarakhsy.
• Dr. Hasan Abdullah Amin dalam al Wada`i al Masharifah an Maqdiyah wa Istitsmariha fi al Islam hal. 23 – 31
• SYAFII ANTONIO dalam Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta GIP 2001) hal 35.
Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah
D. BATASAN DAN JENIS WADI`AH
Transaksi wadi`ah termasuk akad Wakalah (diwakilkan) yaitu penitip aset (barang/jasa) mewakilkan kepada penerima titipan untuk menjaganya ia tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan barang/uang tersebut untuk keperluan pribadi baik konsumtif maupun produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab barang/uang itu masih milik mudi` (penitip). Dilihat dari segi prakteknya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu :
1. WADI`AH YAD AL AMANAH
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima tidak diperkenankan penggunakan barang/uang tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan atas kelalaian penerima titipan dan faktor-faktor diluar batas kemampuannya.
Hadis Rasulullah :
“ Jaminan pertanggung jawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalah gunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.” Ada lagi dalil yang menegaskan bahwa Wadi`ah adalah Akad Amanah (tidak ada jaminan) adalah :
• Amr Bin Syua`ib meriwayatkan dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Penerima titipan itu tidak menjamin”.
• Karena Allah menamakannya amanat, dan jaminan bertentangan dengan amanat.
• Penerima titipan telah menjaga titipan tersebut tanpa ada imbalan (tabarru)
2. WADI`AH TAD ADH-DHAMANAH
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang/uang, dapat memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut.
Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:
“Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Maka diberinya unta qurban (berumur sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memrintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar dan berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R MUSLIM)
Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya. Juga hampir sama dengan al-iddikhar yakni menyisihkan sebahagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan investasi. Keduanya sama-sama akad tabarru yang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman).
E. JENIS BARANG YANG DI WADI`AHKAN
Dalam kehidupan kita masa sekarang ini bahkan mungkin sejak adanya bank kompensional kita mungkin hanya mengenal tabungan/wadi`ah itu hanya berbentuk uang, tapi sebenarnya tidak, masih banyak lagi barang yang bisa kita wadi`ahkan seperti :
1. Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
2. Uang, jelas sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.
3. Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
4. Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga mempunyai nilai uang)
F. RUKUN WADI`AH
Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
1. Barang/Uang yang di Wadi`ahkan dalam keadaan jelas dan baik.
2. Ada Muwaddi` yang bertindak sebagai pemilik barang/uang sekaligus yang menitipkannya/menyerahkan.
3. Ada Mustawda` yang bertindak sebagai penerima simpanan atau yang memberikan pelayanan jasa custodian.
4. Kemudian diakhiri dengan Ijab Qabul (Sighat), dalam perbankan biasanya ditandai dengan penanda tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.
Dalam perbankan Syari`ah tanpa salah satu darinya maka proses Wadi`ah itu tidak berjalan/terjadi/sah.
G. BATASAN-BATASAN DALAM MENJAGA WADI`AH (TITIPAN)
Standar batasan-batasan dalam menjaga barang titipan biasanya disesuaikan dengan jenis akadnya dan sebelum akad diikrarkan batasan-batasan ini harus diperjelas seperti al-wadi`ah bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa jasa) yaitu wadi` tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang bukan karena kelalaiannya dan ia harus menjaga barang tersebut sebagaimana barangnya sendiri. Al-wadi`ah bi `ajr (wadi`ah dengan jasa) ialah wadi` hanya menjaga barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan tanpa harus melakukanseperti halnya tradisi masyarakat.
Kecerobohan/kelalaian (tagshir) dari pihak penerima titipan itu biasa terjadi dan sering terjadi. Adapun kelalaian itu banyak ragamnya namun yang biasa terjadi ialah menjaga titipan tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh mudi`. Ini biasa terjadi pada wadi`ah bi `ajr, namun bila wadi` lalai dari yang diamanatkan maka wadi` harusbertangggung jawab terhadap segala kerusakan barang titipan tadi. Kesalahan yang lain membawa barang titipan bepergian (safar) tanpa ada sebelumnya pembolehan dari mudi`, maka wadi` harus bertanggung jawab atas kehilangan barang tersebut, dalam hal ini wadi`sedang tidak bepergian. Apabila wadi` menerima wadi`ah sedang ia dalam bepergian maka wadi` sudah bertanggung jawab terhadap barang tersebut selama ia dalam perjalanan sampai ia pulang. Seterusnya kesalahan yang lain adalah menitipkan wadi`ah kepada orang lain yang bukan karena udzur, tidak melindungi barang titipan dari hal-hal yang merusak atau hilang maka penerima titipan harus mengganti dengan yang sejenis atau sama nilainya (qima)
Ta`adli hampir sama dengan taqshir bedanya ialah taqshir adalah kelalaian penerima titipan karena ia tidak mematuhi akad wadi`ah sedangkan ta`addli adalah setiap perilaku yang bertentangan dengan penjagaan barang, diantara bentuk taqshir ialah menghilangkan barang dengan sengaja, memanfaatkan barang titipan (mengkonsumsi, menyewakan, meminjamkan dan menginvestasikan)
H. APLIKASI DALAM PERBANKAN
Keynes mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang karena : Transaksi, Cadangan dan Investasi, sehingga perbankan menyesuaikannya dengan giro, deposito dan tabungan. Sementara itu pada bank syariah dalam penghimpunan dananya selain bersumber dari modal dasar juga melalui produk tunggal yaitu wadi`ah (tabungan) namun dalam prakteknya setiap bank berbeda, ada yang seperti giro ada yang seperti deposito. Dilihat dari sunber modal yang terbesar selain modal dasar tadi maka wadi`ah dapat dibagi kedalam, Wadi`ah Jariyah/Tahta Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir keduanya termasuk kedalam TITIPAN yang sifatnya biasa.
Menurut Antonio kedua simpanan ini mempunyai karakteristik yakni harta/uang yang dititipkan boleh dimanfaatkan, pihak bank boleh memberikan imbalan berdasarkan kewenangan menajemennya tanpa ada perjanjian sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan dapat disamakan dengan giro dan tabungan
Wadi`ah Istitsmariyah (TITIPAN INVESTASI), seperti halnya wadi`ah yang terbagi atas dua jenis, maka titipan investasi inipun terbagi atas dua bahagian juga yaitu : General Investment (investasi umum) dan Special Investment (investasi khusus).
Kedua jenis investasi ini mempunyai perbedaan yang terletak pada Shahib Al-Malnya dalam praktek penginvestasiannya.
Sesuai dengan pembagian wadi’ah di atas, maka wadi’ah yad al- amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh mengunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang ditipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan. Dengan demikian si penitip tidak akan mendapatkan keuntungan dari titipannya, bahkan dia dibebankan memberikan biaya penitipan, sebagai jasa bagi pihak perbankan. Sehingga skemanya sebagai berikut: 1

Adapun wadi’ah dalam bentuk yad adh-dhamanah pihak bank dapat memanfaatkan danmenggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya. Tapi walaupun demikian pihak si penerima titipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditettapkan dalam nominal persentase secara advance.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:
1. Bersifat titipan,
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi’ah adalah
1. Bersifat simpanan,
2. Simpanan bias diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan,
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.(lihat Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000.)
Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase.
Aplikasinya dapat dilihat dalam skema berikut ini: 2

I. PENUTUP
Dari hasil uraian pemakalah ini pembaca diharapakan dapat mengerti dan memahami apa itu bank syari`ah, bagaimana proses pelaksanaannya, produk apa saja yang ditawarkannya dan yang paling terpenting bahwasanya kehadiran perbankan syariah adalah untuk membersihkan penyimpanan maupun penginvestasian dana masyarakat sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, sehingga kita dapatkan apa yang telah Allah janjikan kelak diyaumil akhir dan terlepas dari azab siksa kubur dan api neraka naujubillahi minzalik.
Memang kita sadari dalam prakteknya sehari-hari ditengah-tengah masyarakat kita yang selama ini terbiasa dengan yang namanya royalti sehingga dalam penyimpanan dan penginvestasian selalu memandang besar kecilnya suku bunga suatu Bank tanpa memperhatikan kemaslahatannya terhadap diri dan keluarganya. Namun bagi kita yang mempunyai jiwa mujahid dan mujahidah tidak perlu berkecil hati terus berusaha dan berusaha membertikan penerangan dan pengertian bagi saudara-saudara kita yang belum mengerti dan paham setidak-tidaknya kita telah memulainya dari diri kita masing-masing. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Firdaus, NH, Muhammad, dkk., Fatwa-Fatwa Ekonomi Syari’ah Kontemporer, Jakrta: Renaisan, 2005.
____________, Cara Mudah Memahami Akad-akad Syari’ah, Jakarta: Renaisan, 2005
Rivai, Veithzal, dkk.,Bank and Financial Institution Management Conventional & Sharia Syistem, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007
Shalahuddin Lc, dkk., Produk-produk Jasa Bank Islam Teori dan Praktek, Jakarta: Pusat Kajian Ekonomi Islam, 2004

Senin, 17 Desember 2012

tarihk tasyri' periode tabi'in



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berbicara tentang tarikh tasyri’ tidak akan lepas dari factor yudikatif, eksekutif dan kondisi masyarakat, setiap pergantian generasi perkembangan selalu terjadi begitu juga dengan tarikh tasyri’, ada fenomene-feomena yang menarik dari berkembangnya tarikh tasyri’ dimulai dari masa Nabi sampai sekarang ini.
Pada masa Nabi tasyri’ langsung diterima dari Al-Rab yang menciptakan sari’at itu sendiri, dan perkembangan yang dilakukan nabi selalu diawasi oleh allah sendiri, jadi tidak diragukan lagi tentang kebenarannya, posisi nabi sebagai yudikatif dan aksekutif selalu menjadi acuan bagi masyarkat arab pada masa itu.
Perkembangan tasri’ pada masa sahabat tidak begitu drastic, perubahan yang terjadi hanya pada pola amplikasi saja, dan pada masa ini pendapat para sahabat terkait dengan tasyri masih bisa disatukan, tetapi perlu kita ketahui embrio pertama aksisnya perbedaan mazhab  itu adalah pada masa para sahabat setelah Nabi wafat, sehingga timbullah mazhab wishaya, mazhab hak illahi sehingga berkembang menjadi beberapa sekte.
Berkembangnya ulama’-ulama’ hijaz menjadi Ahlul Hadist dan Ra’yi adalah pengaruh pemikiran dari Ali, Ibnu Mas’ud, dan Umr bin Khatab yang sangat terkenal banyak menggunakan ra’yu dalam menetapkan hukum suatu masalah. Dalam hal ini, di kalangan para tabi’in banyak yang terpengaruh oleh cara istimbat hukum para sahabat tersebut, para tabi’in di Iraq terpengaruh oleh ijtihadnuya Ali sedangkan ulama’ hijaz  dipengaruhi oleh pemikiran ibnu abbas yang tidak menggunakan ra’yu.
Timbulnya mazhab sunny adalah perkembangn dari ulama ahlul ra’yu, termaksud juga ulama mazhab yaitu, mazhab Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbal.
Perbedaan pendapat dalam penerapan hukum-hukum sari’ah pada masa ini sengan berbeda, padahal kita ketahui bahwa Imam Safi’i adalah muridnya Imam Malik, tetapi kenapa dalam pemahaman tentang hukumnya berbeda. Dan yang menjadi tanda Tanya apakah dibalik perbedaan tersebut, apakah para imam ingin menciptakan sekte-sekte sendiri, apakah perbebedaan yang segnifikan itu karena dilator belakangi oleh tempat mereka bermukim seperti halnya Imam Safi’i dengan background Iraq dan mesirs sehingga hadirnya Qaul Qadim dan Qaul Jadidnya, Imam Hanifah yang dipengruhi oleh daerah Persia, Imam Malik yang dilatar belakangi oleh negeri Hijaz, dan Imam Hambali yang berlatar belakang sebagai imam di Bagdad, atau ada faktor-fakto yang lainnya.[1]
Dilatar belakangi oleh hal tersebut, maka kami pemekalah akan mencoba mengkaji masalah tersebut, dengan makalah kami yang berjudul Periode Atba’ Al-Fuqaha / Periode Mazhab. Mudah-mudahan makalah kami dapat member sedikit pandangan kepada para pembaca terkait tentang perkembangang tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab.

B.     Rumusan masalah
Adapun rumusan masalahyang kami bahas adalah:
1.      Bagai mana dinamika tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab ?
2.      Apa yang melatar belakangi perkembangan tarikh tasyiri’ pada masa imam mazhab?
3.      Bagaimana model ijtihad para imam mazhab terkait dengan tasyiri’?
4.      Faktor-faktor apa yang menyebabkan berkembangnya empat mazhab ?

C.    Tujuan
1.      Agar pembaca dapat mengetahui dinamika tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab.
2.      Untuk memberi pemahaman tentang hal yang melatar belakangi perkembangan tarikh tasyiri’ pada masa imam mazhab.
3.      Mengetahui model ijtihad para imam mazhab terkait dengan tasyiri’.


BAB II
PEMBAHASAN
A.   Faktor – Faktor Perkembangan Tasyri’
            Dari fragmentasi sejarah, bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini merupakan puncak Dari perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hokum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.
            Fenomena perkembangan tasyrik pada periode ini, seperti tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, bahwa tasyri’ memiliki keterkaitan sejarah yang panjangdan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya[2].
           . Seperti contoh hokum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggalk mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu Munculnya madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzhab-madzhabfiqih pada periode ini pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab yang dianut.
            Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong,  diantaranya[3] :
  1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islampun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
  2. Muncunya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikanpusat-pusat study tentang fiqih, yang diberi nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.
  3. Adanya kecenderungan masyarakat islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-ulama madzhab ketika menghadapi masalah hokum. Sehingga pemerintah (kholifah) merasa perlu menegakkan hokum islam dalam pemerintahannya.
  4. Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal trntang masalah politik seperti pengangkatan kholifah-kholifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai madzhab hukum islam[4].
B.    Mazhab – Mazhab Fiqh Dasar Pemikiran Dan Perkembangannya
1.      Madzhab Hanafi
Madzhab ini didirikan oleh Abu Hanifah yang nama lengkapnya al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Ia dilahirkan di kufah, ia lahir pada zaman dinasti Umayyah tepatnya pada zamankekuasaan Abdul malik ibn Marwan.
Pada awalnya Abu hanifah adalah seorang pedagang, atas anjuran al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran irak (ra’yu). Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum[5].
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtijad Abu Hanifah, diantaranya :
o       Bahwa perempuan boleh jadi hakim di pengadilan yang tugas khususnya menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya karena perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakan adalah qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan menjadikan hukum perempuan senagai far’.
o       Abu hanifah dan ulama kufah berpendapat bahwa sholat gerhana dilakukan dua rakaat sebagai mana sholat ’id tidak dilakukan dua kali ruku’ dalam satu rakaat.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua masa tersebut.
Madzhab hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengfan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.
Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan qawaid al-Fiqh, dan lain-lain. Dasar-dasar Madzhab Hanafi adalah :
o       Al-Qur’anul Karim
o       Sunnah Rosu dan atsar yang shahih lagi masyhur
o       Fatwa sahabat
o       Qiyas
o       Istihsan
o       Adat dan uruf masyarakat
Murid imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah : Imam Abu Yusuf al-An sharg, Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dll.

2.      Madzhab Maliki
Madzhab ini dibangun oleh Maliki bin Annas. Ia dilahirkan di madinah pada tahun 93 H. Imam Malik belajar qira’ah kepada Nafi’ bin Abi Ha’im. Ia belajar hadits kepada ulama madinah seperti Ibn Syihab al-Zuhri.
Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta’, sebuah kitab hadits bergaya fiqh. Inilah kitab tertua hadits dan fiqh tertua yang masih kita jumpai.[6]  Dia seorang Imam dalam ilmu hadits dan fiqih sekaligus. Orang sudah setuju atas keutamaan dan kepemimpinannya dalam dua ilmu ini. Dalam fatwqa hukumnya ia bersandar pada kitab Allah kemudian pada as-Sunnah. Tetapi beliau mendahulukan amalan penduduk madinah dari pada hadits ahad, dalam ini disebabkan karena beliau berpendirian pada penduduk madinah itu mewarisi dari sahabat.
Setelah as-Sunnah, Malik kembali ke qiyas. Satu hal yang tidak diragukan lagi bahwa persoalan-persoalan dibina atas dasar mashutih mursalah.
As-Ayafi’i menerima hadits darinya dan mahir ilmu fiqih kepadanya. Penduduk mesir, maghribi dan andalas banyak mendatangi kuliah-kuliahnya dan memperoleh manfaat besar darinya, serta menyebar luaskan di negeri mereka.
Kitab al-Mudawwanah sebagai dasar fiqih madzhab Maliki dan sudah dicetak dua kali di mesir dan tersebar luas disana, demikian pula kitab al-Muwatta’. Pembuatan undang-undang di mesir sudah memetik sebagian hukum dari madzhab Maliki untuk menjadi standar mahkamah sejarah mesir[7].
            Dasar madzhab Maliki dalam menentukan hukum adalah :
o       Al-qur’an
o       Sunnah
o       Ijma’ ahli madinah
o       Qiyas
o       Istishab / al-Mashalih al-Mursalah 
3.      Madzhab Syafi’i
Madzhab ini didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris al-Abbas. Madzhab fiqih as-Syafi’i merupakan perpaduan antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Ia terdiri dari dua pendapat, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di irak dan qaul jadid di mesir. Madzhab Syafi’i terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan hukum, karena kehati-hatian tersebut pendapatnya kurang terasa tegas.
Syafi’i pernah belajar Ilmu Fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al-Haram dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Umayyah sampai matang dalam ilmu fiqih. Al-Syafi’i mulai melakukan kajian hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodelogi kajian hukum yang cenderung memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran madinah maupun kuffah. Dalam kontek fiqihnya syafi’i mengemukakan pemikiran bahwa hukum Islam bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah serta Ijma’ dan apabila ketiganya belum memaparkan ketentuan hukum yang jelas, beliau mempelajari perkataan-perkataan sahabat dan baru yang terakhir melakukan qiyas dan istishab[8].
            Di antara buah pena/karya-karya Imam Syafi’i, yaitu :
o       Ar-Risalah : merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali disusun.
o   Al-Umm : isinya tentang berbagai macam masalah fiqih berdasarkan pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam kitab ushul fiqih.

4.      Mazhab Hambali
Pendiri Mazhab Hambali ialah: Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.
Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah:
  1. Nash Al-Qur-an atau nash hadits.
  2. Fatwa sebagian Sahabat.
  3. Pendapat sebagian Sahabat.
  4. Hadits Mursal atau Hadits Doif.
  5. Qiyas.
Dalam menjelaskan dasar-dasar fatwa Ahmad bin Hanbal ini di dalam kitabnyaI’laamul Muwaaqi’in.
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut:
  1. Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani yang terkenal dengan nama Al-Atsram; dia telah mengarang Assunan Fil Fiqhi ‘Alaa Mazhabi Ahamd.
  2. Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj al-Marwazi yang mengarang kitab As Sunan Bisyawaahidil Hadis.
  3. Ishaq bin Ibrahim yang terkenal dengan nama Ibnu Ruhawaih al-Marwazi dan termasuk ashab Ahmad terbesar yang mengarang kitab As Sunan Fil Fiqhi.
Ada beberapa ulama yang mengikuti jejak langkah Imam Ahmad yang menyebarkan mazhab Hambali, di antaranya:
  1. Muwaquddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi yang mengarang kitab Al-Mughni.
  2. Syamsuddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi pengarang Assyarhul Kabiir.
  3. Syaikhul Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu Taimiyah pengarang kitab terkenal Al-Fataawa.
  4. Ibnul Qaiyim al-Jauziyah pengarang kitab I’laamul Muwaaqi’in dan Atturuqul Hukmiyyah fis Siyaasatis Syar’iyyah.Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh yang membela dan mengembangkan mazhab Hambali.
C.    Pengaruh Pembukuan Usul Fiqh Dan Fiqh Terhadap Perkembangan Tasyri’
Pembukuan Ushul fiqih dilakukan pada masa Imam Mujtahid/Imam Mazhab (Para Imam Mujtahid), yang terdiri dari:
1) Imam Abu Hanifah (80—150H)
2) Malik bin Anas (93-179 H)
3) Imam Syafi’I (150-204 H)
4) Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah perkembangan wilayah Islam yang makin luas, yang berimplikasi bagi munculnya berbagai persoalan baru yang membutuhkan jawaban hukum syara.Untuk itu para ulama sangat membutuhkan kaidah-kaidah yang standar dan sudah terbukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Para pengikut mazhab masing-masing mengklaim gurunya (pendiri mazhabnya) sebagai penyusun pertama ushul fiqh, yaitu:
a. Golongan Hanafiyah mengklaim Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani sebagai orang pertama menyusun ilmu ushul fiqh Alasannya, Abu Hanifah adalah orang pertama yang menjelaskan metode istimbath dalam buku Ar-Ra’y, sedangkan Abu Yusuf menyusun tulisan Ushul Fiqh. Demikian pula Muhammad bin Hasan Menyusun Kitab Ushul Fiqh sebelum Syafi’i
b. Golongan Malikiyah juga mengklaim Imam Malik sebagai orang pertama berbicara ilmu ushul fiqh. Tapi mereka tidak mengklaim Imam Malik sebagai orang Pertama menyusun kitab Ushul Fiqh
c. Syi’ah Imamiyah juga mengklaim Muhammad Baqir Ibnu Ali Ibn Zainal Abidin kemudianm diteruskan putranya Ja’far Shodiq,
d. Golongan Syafi’iyah juga mengklaim Imam Syafi’i sebagai orang pertama menyusun Kitab Ushul Fiqh dengan nama Ar-Risalah
Klaim Hanafiyah dibantah Ali Abdul Raziq, bahwa Abu Yusuf dan Asy-Syabani menyusun ushul fiqh sangat cenderung untuk mendukung metode istihsan gurunya yang sangat ditentang ahli hadits.
Orang yang menyusun ilmu ushul fiqh secara lengkap dan komprehsnif dan tidak sektarian adalah Imam Syafi’ dengan karya Ar-Risalah.
Klaim Malikiyah wajar, namun harus dicatat, bahwa pembahasan ushul fiqh dengan metodologi ushul juga sudah terjadi di masa sahabat dan tabi’in, Jadi bukan Imam Malik yang pertama membicarakan Ushul Fiqh.
Imam Syafii dianggap sebagai ulama pertama menyusun Ilmu ushul fiqh, karena beliau secara komprehensif telah merumuskan kaidah-kaidah fiqhiyyah bagi setiap bab dalam bab-ban fiqh, menganalisisnya serta mengaplikasikan kaedah-kaedah itu atas masalah furu’.
Imam Syafii dalam Ar-Risalah berhasil merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong ulama untuk mengistimbath hukum dari sumber-sumber syar’i, tanpa terikat pendapat seorang faqih (ulama) tertentu, sehingga ushul fiqhnya betul-betul independen dan sempurna.
Jalaluddin Al-Suyuthi berkata, “Disepakati bahwa Asy-Syafii adalah peletak batu pertama Ilmu ushul fiqh yang lengkap dan independen. Dia orang pertama yang menulis ilmunya secara tersendiri.
Adapun Malik dalam Al-Muwaththa hanya menunjukkan sebagian kaedah-kaedah, demikian pula Abu Yusuf dan Muhammad Hasan Syaibani.

















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hokum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis. Munculnya madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzhab-madzhabfiqih pada periode ini.
Mazhab – mazhab fiqh dasar pemikiran dan perkembangannya :
1.      Madzhab Hanafi
Madzhab ini didirikan oleh Abu Hanifah yang nama lengkapnya al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Ia dilahirkan di kufah, ia lahir pada zaman dinasti Umayyah tepatnya pada zamankekuasaan Abdul malik ibn Marwan.
2.      Madzhab Maliki
Madzhab ini dibangun oleh Maliki bin Annas. Ia dilahirkan di madinah pada tahun 93 H. Imam Malik belajar qira’ah kepada Nafi’ bin Abi Ha’im. Ia belajar hadits kepada ulama madinah seperti Ibn Syihab al-Zuhri.
3.      Madzhab Syafi’i
Madzhab ini didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris al-Abbas. Madzhab fiqih as-Syafi’i merupakan perpaduan antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Ia terdiri dari dua pendapat, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di irak dan qaul jadid di mesir. Madzhab Syafi’i terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan hukum, karena kehati-hatian tersebut pendapatnya kurang terasa tegas.
4.      Mazhab Hambali
Pendiri Mazhab Hambali ialah: Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H.
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah perkembangan wilayah Islam yang makin luas, yang berimplikasi bagi munculnya berbagai persoalan baru yang membutuhkan jawaban hukum syara.Untuk itu para ulama sangat membutuhkan kaidah-kaidah yang standar dan sudah terbukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.














DAFTAR PUSTAKA

v  Schacht, Joseph. Pengantar Hukum Islam. (Jakarta: Departemen Agama, 1985)
v  Khalil, Rasyad Hasan. Abdul Fatah Abdullah Al-Barsumi. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami.( Beirut: Dar Al-Fikr, Tanpa tahun)
v  Al Mansur, Asep Saifuddin. Kedudukan mazhab dalam syari’at islam. Jakarta: pustaka Al-Husna, 1984)




[1] Asep Saifuddin Al-Mansur. Kedudukan Mazhab dalam Syari’at Islam .( Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1984), 40
[2] Mun’im. A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Islamabat : Risalah Bush, 1995, hal. 76
[3] Mahjuddin, Ilmu Fiqih, Jember : P.T. GBI Pasuruan, 1991, hal. 111
[4] Fathurrahman, Djamail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, hal. 09

[5] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, hal. 71
[6] Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : PT Raya Grafindo Persada, 1996, hal. 105
[7] AB, Wahhab,  Khollaf, Khulashoh Tarikh tasyri’ Islam, Solo : CV. Ramadhani, 1991, hal. 89
[8] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 149