This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 07 Mei 2013

sejarah tahun masehi

َﺮَﺼَﺒْﻟﭐَﻭ َﻊْﻤَّﺴﻟﭐ َّﻥِﺇ ۚ ٌﻢْﻠِﻋ ۦِﻪِﺑ
ﺎًۭﻟﻮُٔـْﺴَﻣ ُﻪْﻨَﻋ َﻥﺎَﻛ َﻚِﺌَٰٓﻟ۟ﻭُﺃ ُّﻞُﻛ َﺩﺍَﺆُﻔْﻟﭐَﻭ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ْﻢُﻬْﻨِﻣ َﻮُﻬَﻓ ٍﻡْﻮَﻘِﺑ َﻪَّﺒَﺸَﺗ ْﻦَﻣ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”. Merujuk pada Ayat dan hadits di atas, maka alangkah baiknya kalau kita seharusnya tabayun (kroscek) dahulu asal muasal dari perayaan tahun baru masehi. Kenapa harus 1 Januari? Dan budaya dari kaum apakah perayaan tersebut? Hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjebak oleh ketidaktahuan kita yang akan menyebabkan kita terlempar ke dalam kesesatan. Sejarah Tahun Baru 1 Januari Mari kita buka The World Book Encyclopedia tahun 1984, volume 14, halaman 237. “The Roman ruler Julius Caesar
established January 1 as New Year’s
Day in 46 BC. The Romans dedicated
this day to Janus , the god of gates,
doors, and beginnings. The month of
January was named after Janus, who had two faces – one looking forward
and the other looking backward.” terjemahan bebasnya kurang lebih begini : “Penguasa Romawi Julius Caesar
menetapkan 1 Januari sebagai hari
permulaan tahun baru semenjak abad
ke 46 SM. Orang Romawi
mempersembahkan hari ini (1 Januari)
kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan (waktu).
Bulan Januari diambil dari nama
Janus sendiri, yaitu dewa yang
memiliki dua wajah – sebuah
wajahnya menghadap ke (masa) depan
dan sebuahnya lagi menghadap ke (masa) lalu.”, Perayaan Tahun di beberapa Negara terkait dengan Ritual Keagamaan Bulan Januari (bulannya Janus) juga ditetapkan setelah Desember dikarenakan Desember adalah pusat Winter Soltice, yaitu hari-hari dimana kaum pagan penyembah Matahari merayakan ritual mereka saat musim dingin. Pertengahan Winter Soltice jatuh pada tanggal 25 Desember, dan inilah salah satu dari sekian banyak pengaruh Pagan pada budaya kristen selain penggunaan lambang Salib Tanggal 1 Januari sendiri adalah seminggu setelah pertengahan Winter Soltice, yang juga termasuk dalam bagian ritual dan perayaan Winter Soltice dalam Paganisme. tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—
yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil. Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah,
bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang). Sosok dewa Janus dalam mitologi Romawi Dewa Janus sendiri adalah sesembahan kaum Pagan Romawi, dan pada peradaban sebelumnya di Yunani telah disembah sosok yang sama bernama dewa Chronos. Kaum Pagan, atau dalam bahasa kita disebut kaum kafir penyembah berhala, hingga kini biasa memasukkan budaya mereka ke dalam budaya kaum lainnya, sehingga terkadang tanpa sadar kita mengikuti mereka. Sejarah pelestarian budaya Pagan (penyembahan berhala) sudah ada semenjak zaman Hermaic (3600 SM) di Yunani Kaum Pagan sendiri biasa merayakan tahun baru mereka (atau Hari Janus) dengan mengitari api unggun, menyalakan kembang api, dan bernyanyi bersama. Kaum Pagan di beberapa tempat di Eropa juga menandainya dengan memukul lonceng atau meniup terompet. Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa , tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al- Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi. Bagi orang Persia yang beragama Majūsî (penyembah api), menjadikan tanggal 1 Januari sebagai hari raya mereka yang dikenal dengan hari Nairuz atau Nurus. Penyebab mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari raya adalah, ketika Raja mereka, ‘Tumarat’ wafat, ia digantikan oleh seorang yang bernama ‘Jamsyad’, yang ketika dia naik tahta ia merubah namanya menjadi ‘Nairuz’ pada awal tahun. ‘Nairuz’ sendiri berarti tahun baru. Kaum Majūsî juga meyakini, bahwa pada tahun baru itulah, Tuhan menciptakan cahaya sehingga memiliki kedudukan tinggi. Kisah perayaan mereka ini direkam dan diceritakan oleh al-Imâm an- Nawawî dalam buku Nihâyatul ‘Arobdan al-Muqrizî dalam al- Khuthoth wats Tsâr. Di dalam perayaan itu, kaum Majūsî menyalakan api dan mengagungkannya –karena mereka adalah penyembah api. Kemudian orang-orang berkumpul di jalan-jalan, halaman dan pantai, mereka bercampur baur antara lelaki dan wanita, saling mengguyur sesama mereka dengan air dan khomr (minuman keras). Mereka berteriak-teriak dan menari-nari sepanjang malam. Orang-orang yang tidak turut serta merayakan hari Nairuz ini, mereka siram dengan air bercampur kotoran. Semuanya dirayakan dengan kefasikan dan kerusakan. Bagaimana sikap kita? Setelah kita mengetahui bahwa tradisi Perayaan 1 januari merupakan Perayaan yang terkait dengan ritual keagamaan dan budaya dari kufar ,dan adanya larangan untuk menyerupai sebuah kaum. maka sebaiknya kita tidak perlu ikut ikutan merayakannya apalagi meniru budaya dari kaum kufar. semoga kita semua senantiasa ingat Firman Allah ini : ﺎَﻟَﻭ َﻚَﻟ َﺲْﻴَﻟ ﺎَﻣ ُﻒْﻘَﺗ َﺮَﺼَﺒْﻟﭐَﻭ َﻊْﻤَّﺴﻟﭐ َّﻥِﺇ ۚ ٌﻢْﻠِﻋ ۦِﻪِﺑ
ﺎًۭﻟﻮُٔـْﺴَﻣ ُﻪْﻨَﻋ َﻥﺎَﻛ َﻚِﺌَٰٓﻟ۟ﻭُﺃ ُّﻞُﻛ َﺩﺍَﺆُﻔْﻟﭐَﻭ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya hadîts yang melarang menyepakati perayaan kaum kuffâr banyak sekali.
Diantaranya adalah : ﻦﻋ ﺲﻧﺃ ﻦﺑ ﻚﻟﺎﻣ – ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻨﻋ – :ﻝﺎﻗ ﻡﺪﻗ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ – ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ – ،ﺔﻨﻳﺪﻤﻟﺍ ﻢﻬﻟﻭ ﻥﺎﻣﻮﻳ ﻥﻮﺒﻌﻠﻳ ،ﺎﻤﻬﻴﻓ :ﻝﺎﻘﻓ ﺎﻣ ﻥﺍﺬﻫ ،ﻥﺎﻣﻮﻴﻟﺍ :ﺍﻮﻟﺎﻗ ﺎﻨﻛ ﺐﻌﻠﻧ ﺎﻤﻬﻴﻓ ﻲﻓ .ﺔﻴﻠﻫﺎﺠﻟﺍ ﻝﺎﻘﻓ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ – ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ :– ﻥﺇ) ﻪﻠﻟﺍ ﺪﻗ ﻢﻜﻟﺪﺑﺃ ﺎﻤﻬﺑ ًﺍﺮﻴﺧ ،ﺎﻤﻬﻨﻣ (ﺮﻄﻔﻟﺍ ﻡﻮﻳﻭ ،ﻰﺤﺿﻷﺍ ﻡﻮﻳ Dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ’anhu beliau berkata : Rasūlullâh Shallâllâhu ’alahi wa Sallam tiba di Madînah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” RasūlullâhShallâllâhu ’alaihi wa Sallam mengatakan : ”Sesungguhnya Allôh telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhhâ dan
idul fithri.” [Shahîh riwayat Imâm Ahmad, Abū Dâwud, an-Nasâ`î dan al- Hâkim.] Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata : ﻪﺟﻮﻓ ﺔﻟﻻﺪﻟﺍ ﻥﺃ ﻦﻴﻣﻮﻴﻟﺍ ﻦﻴﻴﻠﻫﺎﺠﻟﺍ ﻢﻟ ﺎﻤﻫﺮﻘﻳ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ – ﻪﻠﻟﺍ ﻢﻬﻛﺮﺗ ﻻﻭ – ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻥﻮﺒﻌﻠﻳ ﺎﻤﻬﻴﻓ ﻰﻠﻋ ،ﺓﺩﺎﻌﻟﺍ ﻞﺑ ﻝﺎﻗ ﻥﺇ ﻪﻠﻟﺍ ﺪﻗ ﻢﻜﻟﺪﺑﺃ ،ﻦﻳﺮﺧﺁ ﻦﻴﻣﻮﻳ ﺎﻤﻬﺑ ﺀﻲﺸﻟﺍ ﻦﻣ ﻝﺍﺪﺑﻹﺍﻭ ﻲﻀﺘﻘﻳ ﻙﺮﺗ ﻝﺪﺒﻤﻟﺍ ،ﻪﻨﻣ ﺫﺇ ﻻ ﻊﻤﺠﻳ ﻦﻴﺑ ﻝﺪﺒﻟﺍ .ﻪﻨﻣ ﻝﺪﺒﻤﻟﺍﻭ ”Sisi pendalilan hadîts di atas adalah, bahwa dua hari raya jahiliyah tersebut tidak disetujui oleh RasūlullâhShallâllâhu ’alaihi wa Sallam dan Rasūlullâh tidak meninggalkan (memperbolehkan) mereka bermain-main di dalamnya sebagaimana biasanya. Namun beliau menyatakan bahwa sesungguhnya Allôh telah mengganti kedua hari itu dengan dua hari raya lainnya. Penggantian suatu hal mengharuskan untuk meninggalkan sesuatu yang diganti, karena suatu yang mengganti dan yang diganti tidak akan bisa bersatu.” Adapun âtsar sahabat dan ulama salaf dalam masalah ini, sangatlah banyak. Diantaranya adalah ucapan ’Umar radhiyallâhu ’anhu, beliau berkata : ﻢﻫﺪﻴﻋ ﻲﻓ ﻪﻠﻟﺍ ﺀﺍﺪﻋﺃ ﺍﻮﺒﻨﺘﺟﺍ ”Jauhilah hari-hari perayaan musuh- musuh Allôh.” [Sunan al- Baihaqî IX/234]. ’Abdullâh bin ’Amr radhiyallâhu ’anhumâ berkata : ﻦﻣ ﻰﻨﺑ ﺩﻼﺒﺑ ﻢﺟﺎﻋﻷﺍ ﻊﻨﺻﻭ ﻢﻫﺯﻭﺮﻴﻧ ﻢﻬﻧﺎﺟﺮﻬﻣﻭ ﻪﺒﺸﺗﻭ ، ﻰﺘﺣ ﻢﻬﺑ ﻚﻟﺬﻛ ﻮﻫﻭ ﺕﻮﻤﻳ ﺔﻣﺎﻴﻘﻟﺍ ﻡﻮﻳ ﻢﻬﻌﻣ ﺮِﺸُﺣ ”Barangsiapa yang membangun negeri orang-orang kâfir, meramaikan peringatan hari raya nairuz (tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.” [Sunan al- Baihaqî IX/234]. Imâm Muhammad bin Sîrîn berkata : : ﻲﺗُﺃ ﻰﻠﻋ ﻲﺿﺭ- ﻪﻠﻟﺍ -ﻪﻨﻋ ﺔﻳﺪﻬﺑ .ﺯﻭﺮﻴﻨﻟﺍ ﻝﺎﻘﻓ : ﺎﻣ ﺍﺬﻫ ؟ ﺍﻮﻟﺎﻗ : ﺎﻳ ﺮﻴﻣﺃ ﻦﻴﻨﻣﺆﻤﻟﺍ ﺍﺬﻫ ﻡﻮﻳ ﺯﻭﺮﻴﻨﻟﺍ . ﻝﺎﻗ : ﺍﻮﻌﻨﺻﺎﻓ ﻞﻛ ﻡﻮﻳ ًﺍﺯﻭﺮﻴﻓ . ﺯﻭﺮﻴﻧ : ﻝﻮﻘﻳ ﻥﺃ ﻩﺮﻛ : ﺔﻣﺎﺳﺃ ﻝﺎﻗ ’’Alî radhiyallâhu ’anhu diberi hadiah peringatan Nairuz (Tahun Baru), lantas beliau berkata : ”apa ini?”. Mereka menjawab, ”wahai Amîrul Mu’minîn, sekarang adalah hari raya Nairuz.” ’Alî menjawab, ”Jadikanlah setiap hari kalian Fairuz .” Usâmah berkata : Beliau (’Alî mengatakan Fairuz karena) membenci mengatakan ”Nairuz”. [Sunan al-Baihaqî IX/234]. Imâm Baihaqî memberikan komentar : ﻲﻓﻭ ﺍﺬﻫ ﺔﻫﺍﺮﻜﻟﺍ ﺺﻴﺼﺨﺘﻟ ﻡﻮﻳ ﻚﻟﺬﺑ ﻢﻟ ﻪﺑ ًﺎﺻﻮﺼﺨﻣ ﻉﺮﺸﻟﺍ ﻪﻠﻌﺠﻳ ”Ucapan (’Alî) ini menunjukkan bahwa beliau membenci mengkhususkan hari itu sebagai hari raya karena tidak ada syariat yang mengkhususkannya.” Apabila demikian ini sikap manusia- manusia terbaik, lantas mengapa kita lebih menerima pendapat dan ucapan orang-orang yang jâhil dan mengikuti budaya kaum kuffâr daripada ucapan para sahabat yang mulia ini. Hari Raya Kita Adalah Idul Fithri dan Idul Adhhâ serta Jum’at Di dalam hadîts yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minîn, ’Â`isyah ash- Shiddîqah binti ash- Shiddîqradhiyallâhu ’anhumâ, beliau menceritakan bahwa ayahanda beliau, Abū Bakr radhiyallâhu ’anhumengunjungi Rasūlullâh. Kemudian Abū Bakr mendengar dua gadis jâriyah menyanyi dan mengingkarinya. Mendengar hal ini, Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda : ﺎﻳ ﺎﺑﺃ ﺮﻜﺑ ! ﻥﺇ ﻞﻜﻟ ﻡﻮﻗ ًﺍﺪﻴﻋ ﻥﺇﻭ ﺎﻧﺪﻴﻋ ﺍﺬﻫ ﻡﻮﻴﻟﺍ ”Wahai Abū Bakr, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya dan hari
raya kita adalah pada hari ini.” [HR Bukhârî]. Dari hadîts di atas, ada dua hal yang bisa kita petik : Pertama, sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam : ”Sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya” menunjukkan bahwa setiap kaum itu memiliki hari raya sendiri-sendiri. Hal ini sebagaimana firman Allôh Ta’âlâ : ًﺎﺟﺎَﻬْﻨِﻣَﻭ ًﺔَﻋْﺮِﺷ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ﺎَﻨْﻠَﻌَﺟ ٍّﻞُﻜِﻟ ”Untuk tiap-tiap (ummat) diantara kalian ada aturan dan jalannya yang terang (tersendiri).” [QS al-Mâ`idah : 48]. Ayat di atas menunjukkan bahwa Allôh memberikan aturan dan jalan sendiri-sendiri secara khusus. KataLâm ( ِﻝ) pada kata Likullin ( ٍّﻞُﻜِﻟ ) menunjukkan makna ikhtishâsh (pengkhususan).
Apabila orang Yahūdi memiliki hari raya dan orang Nashrâni juga memiliki hari raya, maka hari-hari raya itu adalah khusus bagi mereka dan tidak boleh bagi kita, kaum muslimin, ikut turut serta dalam perayaan mereka, sebagaimana kita tidak boleh ikut dalam aturan dan jalan mereka. Kedua, sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam : ﻥﺇﻭ ﺎﻧﺪﻴﻋ ﺍﺬﻫ ﻡﻮﻴﻟﺍ (Dan hari raya kita adalah pada hari ini”), dalam bentuk ma’rifah (definitif) dengan lâm dan idhâfah menunjukkan hasyr (pembatasan),
yaitu bahwa jenis hari raya kita dibatasi hanya pada hari itu. Dan hari tersebut di sini masuk pada cakupan hari raya ’îdul Fithri dan ’îdul Adhhâ, seperti dalam perkataan para ulama fikih : ﺪﻴﻌﻟﺍ ﻡﻮﻳ ﻡﻮﺻ ﺯﻮﺠﻳ ﻻ ”Tidak boleh berpuasa pada hari raya”. Maka maksudnya tentu saja, tidak boleh berpuasa pada dua hari raya ’Idul Fithri dan ’Idul Adhhâ. Dalîl lainnya adalah hadîts Anas bin Mâlik : ﻦﻋ ﺲﻧﺃ ﻦﺑ ﻚﻟﺎﻣ – ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻨﻋ – :ﻝﺎﻗ ﻡﺪﻗ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ – ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ – ،ﺔﻨﻳﺪﻤﻟﺍ ﻢﻬﻟﻭ ﻥﺎﻣﻮﻳ ﻥﻮﺒﻌﻠﻳ ،ﺎﻤﻬﻴﻓ :ﻝﺎﻘﻓ ﺎﻣ ﻥﺍﺬﻫ ،ﻥﺎﻣﻮﻴﻟﺍ :ﺍﻮﻟﺎﻗ ﺎﻨﻛ ﺐﻌﻠﻧ ﺎﻤﻬﻴﻓ ﻲﻓ .ﺔﻴﻠﻫﺎﺠﻟﺍ ﻝﺎﻘﻓ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ – ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ :– ﻥﺇ) ﻪﻠﻟﺍ ﺪﻗ ﻢﻜﻟﺪﺑﺃ ﺎﻤﻬﺑ ًﺍﺮﻴﺧ ،ﺎﻤﻬﻨﻣ (ﺮﻄﻔﻟﺍ ﻡﻮﻳﻭ ،ﻰﺤﺿﻷﺍ ﻡﻮﻳ Dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ’anhu beliau berkata : Rasūlullâh Shallâllâhu ’alahi wa Sallam tiba di Madînah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” RasūlullâhShallâllâhu ’alaihi wa Sallam mengatakan : ”Sesungguhnya Allôh telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhhâ dan
idul fithri.” [Shahîh riwayat Imâm Ahmad, Abū Dâwud, an-Nasâ`î dan al- Hâkim.] Adapun Jum’at, maka termasuk hari raya kaum muslimin yang berulang- ulang dalam tiap pekannya. Sehingga dengannya telah cukup bagi kita dan tidak mencari hari-hari perayaan lainnya. Dalîl hal ini adalah, sabda Nabî yang mulia Shallâllâhu ’alahi wa Sallam : ﻞﺿﺃ ﻪﻠﻟﺍ ﻦﻋ ﺔﻌﻤﺠﻟﺍ ﻦﻣ ﻥﺎﻛ ﺎﻨﻠﺒﻗ ، ﻥﺎﻜﻓ ﺩﻮﻬﻴﻠﻟ ﻡﻮﻳ ،ﺖﺒﺴﻟﺍ ﻥﺎﻛﻭ ﻯﺭﺎﺼﻨﻠﻟ ﻡﻮﻳ ﺪﺣﻷﺍ ﺀﺎﺠﻓ ﻪﻠﻟﺍ ،ﺎﻨﺑ ﺎﻧﺍﺪﻬﻓ ﻪﻠﻟﺍ ﻡﻮﻴﻟ ،ﺔﻌﻤﺠﻟﺍ ﻞﻌﺠﻓ ﺔﻌﻤﺠﻟﺍ ﻡﻮﻳ ﺎﻨﻟ ﻊﺒﺗ ﻢﻫ ﻚﻟﺬﻛﻭ ، ﺪﺣﻷﺍﻭ ﺖﺒﺴﻟﺍﻭ ،ﺔﻣﺎﻴﻘﻟﺍ ﻦﺤﻧ ﻥﻭﺮﺧﻵﺍ ﻦﻣ ﻞﻫﺃ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ، ﻢﻬﻟ ﻲﻀﺘﻘﻤﻟﺍ ،ﺔﻣﺎﻴﻘﻟﺍ ﻡﻮﻳ ﻥﻮﻟﻭﻷﺍﻭ ”Alloh simpangkan dari hari Jum’at umat sebelum kita, dahulu Yahudi memiliki (hari agung) pada hari Sabtu dan Nashrani pada hari Ahad. Kemudian Allôh datangkan kita dan Alloh anugerahi kita dengan hari Jum’at, lantas Alloh jadikan hari Jum’at, Sabtu dan Ahad. Demikianlah, mereka adalah kaum yang akan mengekor kepada kita pada hari kiamat sedangkan kita adalah umat yang terakhir dari para penduduk dunia namun umat yang awal pada hari kiamat, yang diadili (pertama kali) sebelum makhluk-makhluk lainnya. [HR Muslim] Dari Ibnu ’Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata,
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda : ﻥﺇ ﻡﻮﻳ ﺍﺬﻫ ﻪﻠﻌﺟ ﺪﻴﻋ ﻦﻴﻤﻠﺴﻤﻠﻟ ﻪﻠﻟﺍ ﺀﺎﺟ ﻦﻤﻓ …ﻞﺴﺘﻐﻴﻠﻓ ﺔﻌﻤﺠﻟﺍ ”Sesungguhnya hari ini adalah hari ’Ied yang Alloh jadikan bagi kaum Muslimin, barangsiapa yang mendapati hari Jum’at hendaknya ia mandi…” [HR Ibnu Majah dalam Shahih at-Targhib I/298]. Semoga setelah membaca tulisan in,kita bisa menentukan sikap dalam menyikapi perayaan 1 januari sebagai tahun baru. dan sikap kita bukan atas dasar sekedar ikut ikutan , tetapi pilihan kita adalah yang berdasarkan pengetahuan. karena kita sadar betul bahwa semuanya akan dimintai pertanggungan jawab di Yaumil Hisab kelak.