This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 28 April 2013

lemahnya penegak hukum di indonesia

LEMAHNYA PENEGAKAN
HUKUM DI INDONESIA Penyakit yang melanda negara ini bukan disebabkan karena Tsunami dan gempa yang berkekuatan 8,7 SR, bukan juga karena meletusnya gunung Merapi atau bahkan karena kebakaran hutan. Tetapi penyakit yang sedang dialami oleh bangsa ini disebabkan karena degradasi nilai- nilai dan moral pancasila. Hal tersebut sangat mengkhawatirkan, karena degradasi nilai-nilai dan moral pancasila telah terjadi diseluruh elemen masyarakat. Dari mulai para profesional, tokoh masyarakat, para terpelajar, para pendidik, elit politik, bahkan hingga para pemimpin bangsa dan negara. Fakta yang telah menunjukan dari degradasi tersebut adalah pornografi dan pornoaksi yang makin vulgar ditunjukan oleh kalangan muda hingga elit politik, tindakan KKN dimana-mana, kasus mafia hukum dan
peradilan yang tak kunjung selesai, gerakan terorisme oleh salah satu kelompok masyarakat indonesia sendiri dan yang baru-baru ini sedang terjadi adalah kasus mafia hukum dan peradilan yang tidak jelas statusnya, bahkan para tindak pidana dapat melarikan diri sampai ke luar negeri. Ironisnya, surat pencegahan ke luar negeri oleh Ditjen Imigrasi Kemenhukum dan HAM dikeluarkan pasca kepergian tersangka dari Indonesia dan itu merupakan buruknya komunikasi di aparat penegak hukum. Selain itu, guna menghindari rumah tahana, sudah menjadi tren yang cukup lama para tersangka kasus korupsi berkelit dengan alasan sakit. Itu semua merupakan sedikit contoh kecil dari gunung es degradasi nilai-nilai dan moral Pancasila telah terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dewasa ini. Belakangan ini, dapat terlihat bagaimana sebenarnya keadaan penegakan hukum di Indonesia yang kian lama kian memburuk. Hal tersebut dipicu oleh lemahnya penegakan hukum seperti pada kasus dana talangan Bank Century, skandal Nazarudin, kasus Nunun Nurbaeti, kasus pegawai pajak Dhana Widyatmaja hingga kasus pemerintah daerah Tanjung Jagung Timur yang hingga saat ini belum terselesaikan. Melalui hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) diketahui bahwa persepsi publik terhadap kondisi politik dan hukum di Indonesia terus memburuk. Salah satu sebab utama dari penurunan persepsi publik terhadap kondisi politik dan penegakkan hukum di Indonesia adalah kian maraknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan para elite politik, seperti kasus cek pelawat dan kasus dugaan suap Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam pembangunan Wisma Atlet SEA Games. Penilaian buruk itu tidak hanya berdasarkan dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada pertengahan Desember 2011, tetapi publik juga menilai kinerja pemerintahan dalam pemberantasan korupsi buruk atau sangat buruk dengan proporsi di bawah 50 persen. Padahal, data longitudinal sejak 2005 sampai 2011 menunjukkan proporsi sikap positif publik senantiasa lebih besar dalam isu penanggulangan korupsi yang pada tahun-tahun sebelumnya menunjukan kinerja yang baik dengan mengungkap
dan menuntaskan kasus-kasus korupsi seperti Gayus yang saat ini sedang menjalankan hukumannya. Penanggung jawab penurunan kepercayaan publik ini bukan hanya pemerintah, tetapi semua pihak yang secara langsung berkaitan dengan penegakan hukum, seperti integritas lembaga penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan Agung, pengadilan termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena apa yang dinilai buruk dalam demokrasi Indonesia berkaitan dengan tata kelola pemerintahan, terutama dalam penegakan hukum (rule of law), dan pengawasan terhadap korupsi. Data Governance Indicator World Bank 2011 menunjukkan, dalam sepuluh tahun terakhir demokrasi Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti dan masih tetap negatif. Dengan banyaknya kasus korupsi yang terjadi dalam pemerintahan, kepastian hukum rendah, regulasi yang tidak berkualitas, dan inefisiensi penyelenggaraan negara. Jika keadaan ini terus berlanjut, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi akan menurun. Sampai akhir tahun 2009, kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi sangat tinggi, yaitu mencapai angka 83,7 persen dimana banyak kasus korupsi yang dapat terungkap dan terselesaikan. Namun, sejak Januari atau 10 bulan terakhir terjadi penurunan kinerja pemerintah yang tajam sampai 34 persen. Penurun kinerja para penegak hukum terlihat dari beberapa kasus yang ditangani, seperti Bank Century, kasus cicak dan buaya, atau kasus mafia hukum lainnya dan bahkan sangat terlihat dari munculnya kasus suap ketua hakim untuk membebaskan satu pihak yang bersalah. Adanya permainan politik juga menjadi faktor penyebab munculnya berbagai kasus suap untuk melindungi para tindak pidana kelas kakap untuk lepas dari jerat hukumnya. Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia sebenarnya hanya sebagian kecilnya dapat terungkap, untuk kasus-kasus yang lebih besar belum dapat terungkap karena masih dilindungi oleh para tangan kanannya
yang terlebih dahulu terjerat kasus. Lembaga penegak hukum seperti hakim pun kini dapat dibayar untuk melepaskan para koruptor dari jerat hukumnya. Sedang kan untuk rakyat biasa yang tidak berkecukupan di beri hukuman yang berat hanya karena seorang nenek mencuri beberapa biji kopi dari perkebunan. Kasus ini sebenarnya tidak layak untuk masuk ke dalam meja hijau. Hal ini mencerminkan bahwa penegak hukum di Indonesia, sangat tidak bermutu karena tidak bisa memilah mana kasus yang seharusnya masuk ke pengadilan dan mana kasus yang seharusnya dapat di selesaikan secara
manusiawi. Sungguh sangat ironis, jika menjabar kasus-kasus seperti itu yang masih saja terjadi hingga saat ini. Masyarakat juga menilai, hukuman terhadap koruptor sejauh ini tidak adil. Rakyat umumnya menginginkan koruptor dihukum seberat-beratnya, setidaknya dihukum seumur hidup, untuk menciptakan efek jera dan tak akan tumbuh koruptor-koruptor yang baru yang berani mengambil uang rakyatnya. salah satu aspek yang jarang dilihat dalam pemberantasan korupsi adalah sistem pemenjaraan atau lembaga pemasyarakatan. Hukuman sosial juga penting bagi terpidana koruptor agar berefek jera. Penilaian yang buruk terhadap integritas lembaga penegak hukum sebenarnya sudah tidak asing lagi. Lembaga survei lain, seperti Transparency International, juga pernah menilai tingkat korupsi di Indonesia yang semakin meningkat. Untuk dapat mengatasi permasalahan tersebut salah satunya adalah dengan mensinkronkan antara sistem, pembuat hukum dan pelaksananya. Selain itu, dengan diterapkannya hukuman dengan memiskinkan para terdakwa kasus mavia hukum. Sanksi ini bertujuan untuk para calon koruptor dan terdakwa jera untuk melakukan korupsi. Karena apabila ketiga komponen utama dalam hukum tersebut sudah sinkron, maka negara akan sembuh kembali seperti semula. Dari kasus di atas, dapat digambarkan bagaimana sebenarnya keadaan penegakan hukum di Indonesia. Maka perlu adanya strategi yang harus dilakukan agar kasus-kasus hukum dapat diminimalisir, salah satunya dengan adanya transparansi penyidikan. Masalah transparansi proses penyidikan sangat penting dilakukan untuk membangun integritas lembaga penegak hukum yang bersih. Tanpa adanya transparansi penyidikan, penyalahgunaan kewenangan dan praktik koruptif mudah saja terjadi didalamnya. Oleh karena itu, transparansi penyidikan dalam penegakan hukum perlu terus dibangun dan dikembangkan untuk menjaga dan mengontrol integritas penegak hukum. Tidak hanya transparansi penyidikan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan dan praktik koruptif, tetapi untuk pencegah tindak korupsi perlu diadakannya transparansi sistem pembayaran dalam pemerintahan agar uang rakyat tidak masuk ke dalam kantong para pemilik kekuasaan. Dengan dibuatnya sistem pembayaran pajak yang langsung masuk ke dalam kas negara tanpa perantara pegawai pajak akan dapat meminimalisir kasus korupsi dalam institusi perpajakan Indonesia.

Minggu, 21 April 2013

peradilan tipikor di indonesia

TIPIKOR DAN
PENGERTIANNYA Di Indonesia korupsi bukanlah hal
baru, seolah kurupsi adalah gaya
hidup orang-orang yang punya
kekuasaan. Semakin anti korupsi
disuarakan semakin dahsyat pula
korupsi yang terjadi di Negeri ini. Korupsi itu sendiri sudah ada sejak
tahun 1950-an. Dengan melihat latar
belakang timbulnya korupsi, salah
satu faktor yang menyebabkan
meningkatnya aktivitas korupsi di
beberapa negara disebabkan terjadinya perubahan politik yang
sistemik, sehingga tidak saja
memperlemah atau menghancurkan
lembaga sosial politik, tetapi juga
lembaga hukum. Istilah Korupsi berasal dari kata
latin ”corruptio” atau ”corruptus”
yang berarti kerusakan atau
kebobrokan, atau perbuatan tidak
jujur yang dikaitkan dengan
keuangan. Sementara itu, dalam bukunya The
Sociology of Corruption, Syeh Hussein
Alatas, mengemukakan pengertian
korupsi dengan menyebutkan benang
merah yang menjelujuri dalam
aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah
kepentingan tujuan-tujuan pribadi
yang mencakup pelanggaran norma-
norma, tugas, dan kesejahteraan umum,
dibarengi dengan kerahasian,
penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan
akibat yang diderita oleh masyarakat.
Menurutnya, “corruption is the abuse
of trust in the interest of private
gain” yakni penyelahgunaan amanah
untuk kepentingan pribadi. Lebih lanjut Hussein Alatas,
menyebutkan tipe korupsi dalam
prakteknya meliputi ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Korupsi selalu dilakukan lebih
dari satu orang. 2. Korupsi pada umumnya dilakukan
penuh kerahasiaan.
3. Korupsi melibatkan elemen
kewajiban dan keuntungan timbal
balik.
4. Korupsi dengan bebagai macam akal berlindung dibalik pembenaran
hukum.
5. Mereka yang terlibat korupsi
adalah yang menginginkan keputusan
yang tegas dan mereka mampu
mempengaruhi keputusan. 6. Tindakan korupsi mengandung
penipuan baik pada badan publik
atau masyarakat umum.
7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu
penghianatan kepercayaan.
8. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan itu.
9. Suatu perbuatan korupsi melanggar
norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan
masyarakat Dalam ketentuan Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Korupsi tidak ditemukan pengertian
tentang korupsi. Akan tetapi, dengan
memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik formil,
maka Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-
Udang No. 31 Tahun 1999 mengatur
secara tegas mengenai unsur-unsur
pidana dari tindak pidana korupsi
dimaksud. Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan sebagai
berikut : “Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonoman negara...” Selanjutnya
dalam Pasal 3 Undang-Udang No. 31
Tahun 1999, menyatakan : “Setiap
orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian
negara...” Definisi yuridis di atas merupakan
batasan formal yang ditetapkan oleh
badan atau lembaga formal yang
memiliki wewenang untuk itu di suatu
negara. Oleh karena itu, batas-batas
korupsi sangat sulit dirumuskan dan tergantung pada kebiasaan maupun
undang-undang domestik suatu negara.
Korupsi pertama kali dianggap
sebagai tindak pidana di Indonesia
berdasarkan Undang-Undang No. 24
Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi. Dalam kenyataannya
undang-undang ini tidak mampu
melaksanakan tugasnya sehingga
dicabut dan diganti dengan Undang-
Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dan terakhir sejak tanggal
16 Agustus 1999 diganti dengan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Tujuan pemerintah dan pembuat
undang-undang melakukan revisi atau
mengganti produk legislasi tersebut
merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam
pemberantasan korupsi, agar dapat
menjangkau berbagai modus operandi
tindak pidana korupsi dan
meminimalisir celah-celah hukum,
yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melepaskan diri dari jeratan
hukum.
Dalam pengertian yuridis, Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, memberikan batasan
tentang pengertian Tindak Pidana
Korupsi dengan cakupan yang lebih
luas sehingga meliputi berbagai
tindakan termasuk tindakan ”penyuapan”, yang dapat dipahami
dari bunyi teks pasal-pasalnya,
kemudian mengelompokannya ke
dalam beberapa rumusan delik.
Dengan memahami hal tersebut
diharapkan segala tindakan hukum dalam rangka pemberantaan korupsi
akan terwujud, baik dalam bentuk
pencegahan (preventif) maupun
tindakan (represif). Pemberantasan
korupsi tidak hanya memberikan efek
jera bagi pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal.

Senin, 15 April 2013

SISTEM PERADILAN DALAM ISLAM di indonesia

SISTEM PERADILAN DALAM ISLAM Pendahuluan Pada 1400 terakhir sejarah negara
Islam, dikenal dengan administrasi
peradilannya, dan kemampuannya
melindungi hak-hak rakyat dan hal
inilah yang sangat berbeda dengan
seluruh aspek kehidupan bangsa lainnya baik secara pribadi maupun
politik. Ada 2 orang yang bertanggung jawab
dalam mengimplementasikan Islam
dalam berbagai hal yakni: Khalifah
dan Qadhi (hakim). Khalifah
menjalankan hukum-hukum Islam
dan menerapkannya kepada seluruh rakyat, sedangkan hakim mengambil
putusan-putusan secara Islami untuk
kondisi-kondisi yang berbeda
berdasarkan sumber-sumber (seperti
Al-Qur`an, As Sunnah dan segala
sesuatu yang berasal dari keduannya) dan menggunakannya.
Karena itu peradilan merupakan
salah satu pilar yang fundamental
dalam negara Islam dan diatas hal
inilah sistem pemerintahan
disandarkan sebagai bagian Implementasi Islam dalam
kehidupan politik. Dalam negara
Islam telah ada sebuah peradilan
yang senantiasa menjalankan
keadilan dan menghukum siapa saja
yang patut dihukum ditengah-tengah masyarakat untuk memastikan
bahwa Islam telah ditaati secara
terus-menerus. Sistem peradilan ini
tidak ada yang bertentangan dengan
Islam malah ia berasal dari aqidah
Islam dan membentuk satu kesatuan yang padu dalam pandangan hidup
Islam, ditambah dengan Sistem
Islam yang lain seperti Sistem
Ekonomi (Iqtisad), dan ritual
(ibadah) yang saling
menyempurnakan satu sama lain. Tujuan Peradilan Dasar dibentuknya Peradilan
memiliki 3 prinsip yaitu:
1.Bahwa penerapan hukum-hukum
Islam dalam setiap kondisi adalah
wajib.
2.Bahwa dilarang mengikuti syari’ah lain selain Islam.
3.Syari’ah selain Islam adalah
kufur dan batil (taghut). Dengan kerangka seperti ini, sistem
Peradilan Negara Islam
dijalankan dan Berdasarkan
pemahaman ini maka definisi
Peradilan dibangun berdasarkan
syari’ah sehingga definisi dan tujuan Peradilan adalah
memberikan putusan-putusan yang
sah untuk menetapkan berbagai
pendapat yang muncul terhadap
hukum Allah dalam berbagai situasi,
dengan kewenangan untuk memaksa mereka. Bukti keabsahan Peradilan Landasan Sistem Peradilan dan
hukum-hukumnya berasal dari Al-
Qur`an dan As-Sunnah. Mengenai Al-
Qur`an, Allah SWT Berfirman
dalam beberapa surat , diantaranya
dalam QS. 4:105 dan QS. 5:48. Ayat- ayat ini dengan jelas menyatakan
bahwa adalah sah untuk menghukumi
antar manusia dan bahkan wajib
melaksanakan hal tersebut, yaitu
dengan hanya merujuk kepada
sistem Allah SWT. Mengenai As- Sunnah, Rosululloh SAW sendiri
memimpin Sistem Peradilan ini dan
beliaulah yang menghukumi umat.
Muslim menceritakan hal yang
disampaikan Aisyah (ra), istri
Rosululloh SAW bahwa beliau berkata, Sa’ad Ibn Abi Waqqash dan
Abd Zama’a berselisih satu sama
lain mengenai seorang anak laki-
laki. Sa’ad berkata: “Rosululloh
SAW, adalah anak dari saudaraku
Utbah Ibn Abi Waqqash yang secara implisit dia menganggap sebagai
anaknya. Lihatlah kemiripan
wajahnya.”. Abd Ibn Zama’a
berkata: “Rosululloh, dia adalah
saudaraku karena dia lahir diatas
tempat tidur ayahku dari hamba sahayanya. Rosululloh lalu melihat
persamaan itu dan beliau mendapati
kemiripan yang jelas dengan Utbah.
Tapi beliau bersabda, “Dia adalah
milikmu wahai Abd Ibn Zama’a,
karena seorang anak akan dihubungkan dengan seseorang yang
pada tempat tidurnya ia dilahirkan,
dan hukum rajam itu adalah untuk
pezina.” Hal ini membuktikan bahwa
Rosululloh SAW menghukumi umat
dan bahwa keputusannya memiliki otoritas untuk dilaksanakan. Bukti-bukti lain tentang Peradilan
dalam As Sunnah, adalah : 1.Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan
Ibn Majah meriwayatkan: Buraidah
berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Hakim itu ada 3, 2
diantaranya akan masuk api neraka
dan satu akan masuk surga. Seseorang yang mengetahui kebenaran
dan menghakiminya dengan
kebenaran itu ?dialah yang akan
masuk surga, seseorang yang
mengetahui kebenaran namun tidak
memutuskan berdasarkan kebenaran itu, dia akan masuk neraka. Yang
lain tidak mengetahui kebenaran
dan memutuskan sesuatu dengan
kebodohannya, dan dia akan masuk
neraka”. 2.Ahmad dan Abu Daud
mengisahkan: Ali ra. Berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda: “Wahai
Ali, jika 2 orang datang kepadamu
untuk meminta keadilan bagi
keduanya, janganlah kamu memutuskan sesuatu dari orang yang
pertama hingga kamu mendengarkan
perkataan dari orang kedua agar
kamu tahu bagaimana cara
memutuskannya (menghakiminya).” 3.Bukhori, Muslim dan Ahmad
meriwayatkan Ummu Salamah
berkata: “Dua laki-laki telah
berselisih tentang warisan dan
mengdatangi Rasulullah SAW,
tanpa membawa bukti. Beliau saw bersabda: kalian berdua membawa
perselisihan kalian kepadaku,
sedang aku adalah seseorang yang
seperti kalian dan salah seorang
diantara kalian mungkin berbicara
lebih fasih, sehingga aku mungkin menghakimi berdasarkan
keinginannya. Dan jika aku
menghukumnya dengan sesuatu yang
bukan menjadi miliknya dan aku
mengambilnya sebagai hak
saudaranya maka ia tidak boleh mengambilnya karena apapun yang
aku berikan padanya akan menjadi
serpihan api neraka dalam perutnya
dan dia akan datang dengan
menundukkan lehernya dihari
pembalasan. Kedua orang itu menangis dan salah satu dari mereka
berkata, aku berikan bagianku pada
saudaraku. Rasulullah SAW
bersabda: “Pergilah kalian bersama-
sama dan bagilah warisan itu
diantara kalian dan dapatkan hak kalian berdua serta masing-masing
dari kalian saling mengatakan,
“Semoga Alloh mengampunimu dan
mengikhlaskan apa yang dia ambil
agar kalian berdua mengdapat
pahala”. 4.Baihaqi, Darqutni dan Thabrani
berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang diuji Alloh
dengan membiarkannya menjadi
seorang hakim, maka janganlah dia
membiarkan satu pihak yang berselisih itu duduk didekatnya
tanpa membawa pihak lainnya untuk
duduk didekatnya. Dan dia harus
takut pada Alloh atas
persidangannya, pandangannya
terhadap keduannya dan keputusannya pada keduanya. Dia
harus berhati-hati agar tidak
merendahkan yang satu seolah-olah
yang lain lebih tinggi, dia harus
berhati-hati untuk tidak
menghardik yang satu dan tidak kepada yang lain dan diapun harus
berhati-hati terhadap keduanya.” 5.Muslim, Abu Daud dan An Nasa’i
berkata: Ibnu Abbas berkata,
“Rasulullah SAW mengadili
manusia dengan sumpah dan para
saksi.” 6.Imam Mawardi dalam etika
Peradilan Vol.1.p.123, “Rasulullah
SAW menunjuk hakim dalam
Negara Islam, diantaranya adalah
Imam Ali, Mu’adz bi Jabal dan Abu
Musa Al Ash’ari”. 7.Muslim mengabarkan Abu
Hurairah berkata: “Rasulullah
SAW sedang melewati pasar dan
beliau melihat seseorang sedang
menjual makanan. Dia meletakkan
tangannya diatas sepiring kurma dan ditemukan kurma-kurmanya basah
dibagian bawahnya. Beliau bertanya,
apa ini” Dia menjawab, hujan dari
surga Ya Rasululloh. Rasulullah
SAW bersabda, “Kamu harus
meletakkannya diatas, barangsiapa mencuri timbangan bukan dari
golongan kami”. Semua hadist diatas secara jelas
menyatakan kebenaran Pengadilan
dan menjelaskan dari berbagai
sudut pandang, dasar-dasar Sistem
Peradilan dalam Negara Islam
antara lain: 1.Hadist-hadist tersebut menyatakan
bahwa seseorang termotivasi menjadi
hakim dikarenakan pahala
terhadap hakim tersebut. 2.Hadist-hadist diatas membuat
takut terhadap orang-oarng yang
ingin menjadi hakim apabila mereka
tidak mampu. 3.Hadist-hadist diatas
menunjukkan kepada kita sumber
perselisihan dan sumber
Peradilannya misalnya Rasulullah
SAW mengatakan kepada Ali untuk
tidak mengadili siapapun hingga ia mendengarkan pernyataan dari
kedua belah pihak. Hal itu
menunjukkan bahwa kita harus
memiliki sebuah pengadilan dimana
kedua pihak duduk bersama dan
bahwa seorang hakim harus mendengarkan keduanya. Beliau
menyatakan bahwa takutlah kepada
Alloh pada saat engkau melihat
mereka, berbicara pada mereka dan
pada saat engkau menghukum
mereka. 4.Hadist-hadist tersebut
menunjukkan adanya dasar
penunjukkan seorang wakil.
Dikarenakan pernyataan, “Hati-
hatilah terhadap mereka yang
memiliki lidah yang fasih, sehingga ia boleh jadi menunjuk seseorang
untuk berbicara atas namamu”. 5.Hadist-hadist tersebut juga
membuktikan bahwa Rasulullah
SAW mengambil sumpah-sumpah dan
saksi-saksi, bahwa hal tersebut
dapat digunakan pembuktian
berbagai kasus. 6.Mereka (hadist-hadist itu)
menyatakan macam-macam hakim,
misalnya Qadhi Muhtasid yang
menegakkan keadilan dan
kebenaran yang terjadi dipasar. 7.Hadist-hadist diatas juga
menyatakan kebenaran cara
penunjukkkan para hakim seperti
pernyataan Imam Mawardi, Imam
Ali dan Mu’adz bin Jabal. SISTEM PERADILAN ISLAM I
Fakta Tentang Sistem Peradilan Dalam peradilan Hukum Islam,
hanya ada satu hakim
yangbertanggung jawab terhadap
berbagai kasus pengadilan. Dia
memiliki otoritas untuk
menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Keputusan-keputusan lain mungkin
hanya bersifat menyarankan atau
membantu jika diperlukan (yang
dilakukan oleh hakim ketua). Tidak ada sistem dewan juri dalam
Islam. Nasib seorang tidak
diserahkan kepada tindakan dan
prasangka ke-12 orang yang bisa saja
keliru karena bukan saksi dalam
kasus tersebut dan bahkan mungkin pelaku kriminal itu
sendiri!.Hukumanhukuman dalam
Islam hanya bisa dilakukan apabila
perbuatantersebut terbukti 100%
secara pasti dan kondisi yang
relevan dapatditemukan (misal ada 4 saksi untuk membuktikan
perzinahan) jika masih adakeraguan
tentang peristiwa-peristiwa tersebut
maka seluruh kasus akan
dibuang. Ada 3 macam hakim dalam Islam,
yaitu: 1. Qodli ‘Aam: bertanggung jawab
untuk menyelesaikan perselisihan
ditengah-tengah masyarakat,
misalnya masalah sehari-hari yang
terjadi didarat, tabrakan mobil,
kecelakaan-kecelakaan, dsb. 2. Qodli Muhtasib: bertanggung
jawab menyelesaikan perselisihan
yang timbul diantara ummat dan
beberapa orang, yang menggangu
masyarakat luas, misalnya berteriak
dijalanan, mencuri di pasar, dsb. 3. Qodli Madzaalim: yang mengurusi
permasalahan antara masyarakat
dengan pejabat negara. Dia dapat
memecat para penguasa atau pegawai
pemerintah termasuk khalifah. Khalifah kedua yaitu Umar Ibnu Al
Khattab (Amir kaum muslimin
antara tahun 634-644 M) adalah
orang pertama yang membuat penjara
dan rumah tahanan di Mekkah.
Dibawah sistem peradilan (Islam), setiap orang, muslim atau non muslim,
laki-laki atau perempuan, terdakwa
dan orang yang dituduh memiliki
hak menunjuk seorang wakil
(proxy). Tidak ada perbedaan
antara pengadilan perdata dengan kriminal seperti yang kita lihat
sekarang di negeri-negeri Islam
seperti di Pakistan dimana sebagian
hokum Islam dan sebagian hokum
kufur keduanya diterapkan.
Negara Islam hanya akan menggunakan sumber-sumber hukum
Islam yakni, Al-Qur`an dan As-
Sunnah (dan segala sesuatu yang
berasal dari keduanya) sebagai
rujukannya. Hukuman-hukuman
Islami akan dilaksanakan tanpa penundaan dan keraguan. Tidak seorangpun akan di hukum
kecuali oleh peraturan pengadilan.
Selain itu, sarana (alat-alat)
penyiksaan tidak
diperbolehkan.Dibawah sistem
Islam, seseorang yang dirugikan dalam suatu kejahatan mempunyai
hak untuk memaafkan terdakwa
atau menuntut ganti rugi (misal
qishas) untuk suatu tindak
kejahatan. Khusus untuk hukum
hudud, merupakan hak Allah.Hukum potong tangan dalam
Islam hanya akan diterapkan
apabila memenuhi 7 persyaratan,
yaitu:
1.Ada saksi (yang tidak
kontradiksi atau salah dalam kesaksiannya)
2.Nilai barang yang dicuri harus
mencapai 0,25 dinar atau senilai 4,25
gr emas.
3.Bukan berupa makanan (jika
pencuri itu lapar) 4.Barang yang dicuri tidak berasal
dari keluarga pencuri tersebut.
5.Barangnya halal secara alami
(misal: bukan alkohol)
6.Dipastikan dicuri dari tempat
yang aman (terkunci) 7.Tidak diragukan dari segi
barangnya (artinya pencuri tersebut
tidak berhak mengambil misalnya
uang dari harta milik umum). Di sepanjang 1300 tahun aturan
Islam diterapkan, hanya ada sekitar
200 orang yang tangannya dipotong
karena mencuri namun kejadin-
kejadian pencurian sangat jarang
terjadi. Setiap orang berhak menempatkan pemimpinnya di
pengadilan,
berbicara mengkritiknya jika
pengadilan telah melakukan
sejumlah pelanggaran terhadapnya.
Sebagaimana ketika seorang wanita pada masa khalifah Umar Ibnu Al
Khattab mengoreksi kesalahan yang
dilakukan Umar tentang nilai
mahar . Kehormatan seorang warga negara
dipercayakan kepada Majlis
Ummah. Hukuman atas tuduhan
kepada muslim lain yang belum
tentu berdosa dengan tanpa
menghadirkan 4 orang saksi yang memperkuat pernyataan tersebut
adalah berupa 80 kali cambukan. Ada 4 kategori hukuman dalam
sistem peradilan Islam, yaitu: 1)Hudud. Hak Allah SWT, seperti
perbuatan zina (100 cambukan),
murtad (hukuman mati).
2)Al Jinayat. Hak individu, dia
boleh memaafkan tindak kejahatan
seperti pembunuhan, kejahatan fisik. 3)At Ta’zir. Hak masyarakat,
perkara-perkara yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat umum sehari-
hari seperti pengotoran lingkungan,
mencuri di pasar.
4)Al-Mukhalafat. Hak negara, perkara-perkara yang mempengaruhi
kelancaran tugas negara misal
melanggar batas kecepatan. SISTEM PERADILAN DALAM
ISLAM II
Manusia terbatas pengetahuannya
dan bisa berbuat keliru. Mereka
cenderung salah dan penuh
prasangka. Islam tidak menyerahkan penentuan undang-
undang keadilan kepada kehendak
dan selera manusia sebagaimana yang
terjadi di Barat. Akan tetapi, yang
berwenang membuat hukum hanyalah
Allah SWT, Pencipta manusia dan Yang Maha Mengetahui tentang diri
manusia. Siapakah yang lebih berhak
melakukan hal ini? Allah SWT
berfirman: “Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah” (QS. 6 : 57). Sesungguhnya menetapkan hukum
adalah hak Allah. Maka anda
tinggal meyakini bahwa dalam
pengadilan Islam, faktor-faktor
seperti hakim berteman dengan
terdakwa atau, mengalami hari-hari yang tidak menyenangkan, tidak
ada hubungannya dengan kerasnya
hukuman yang akan dilaksanakan.
Bila anda korban kejahatan dan
anda miskin sedangkan lawan anda
kaya, tidak akan berpengaruh apapun terhadap keputusan
pengadilan. Bila anda diijinkan
untuk menunjuk seorang wakil yang
akan berbicara atas nama anda,
tidak perlu ada sejumlah uang yang
dipertaruhkan. Tujuan pengadilan semata-mata untuk menegakkan
keadilan, bukan menghasilkan uang.
Karena itu tidak perduli siapa yang
mengusut kasus anda, atau betapapun
pandainya dia bicara, semua
diserahkan kepada hakim untuk memastikan fakta-fakta dan
mengevaluasinya.
Dalam Islam, bukti kesalahan
tertentu sudah cukup untuk
menjatuhkan vonis. Karena itu,
tidak ada konsep juri, yang anggota- anggotanya mungkin tidak sepakat
terhadap suatu keputusan, dengan
semata-mata mendasarkan kepada
kebijakan
meraka pribadi. Bukti-bukti tidak
langsung yang tidak meyakinkan dan mengarah kepada penafsiran
yang berbeda-beda tidaklah cukup.
Seluruh bukti harus diberikan
kepada seorang hakim yang ahli di
bidang hukum dan dia menjatuhkan
hukuman sesuai dengan hukum- hukum Islam. Sehingga hanya yang
terbukti melakukan tindak
kriminal saja yang dihukum. Para
pelaku kriminal mungkin saja
tidak mendapat putusan yang pasti
tapi mereka tidak akan bisa menghindar dari hukuman di Hari
Pembalasan. Dengan merujuk pada
kedua kerangka sistem Peradilan
diatas, marilah kita bandingkan
cara mengatasi tindak-tindak
kriminal pada umumnya yang kita sangat mengkhawatirkannya. 1.Perampokan: anda mungkin pernah
mengalami atau mengetahui orang
yang mengalami hal ini. Sistem hukum Inggris: hukuman
bersifat bebas, artinya tergantung
dari kriminalnya, tapi biasanya
dihukum oleh hukum mayoritas. Sistem Peradilan Islam: bila
kesalahannya pasti, hakim akan
mempertimbangkan sebab-sebab
kejahatan tersebut dan berijtihad
(menggali hukum dari Al-Qur`an
dan As-Sunnah). Bagaimanapun hal ini merupakan kejahatan publik
terhadap kematian seandainya
perampokan tersebut mengarah
kepada kematian. 2.Pencurian: pencurian sangant umum
terjadi di Inggris. Anda pasti takut
rumah anda akan dibobol bila
bepergian dalam jangka waktu yang
cukup lama. Sistem hukum Inggris: putusan
hukuman bersifat bebas (tidak
mengikat) tergantung jenis
kriminalnya, tapi biasanya dihukum
penjara. Sistem Peradilan Islam: pencuri
akan dipotong tangannya apabila
telah memenuhi 7 persyaratan dari
hukuman ini. Mereka tidak
diperkenankan melaksanakan
(pemotongan tangan tersebut) dengan operasi. 3.Pemerkosaan: pemerkosaan di
Inggris rata-rata terjadi tiap 2,5
jam. Banyak yang tidak terekam
dan pada umumnya pelaku dikenal
oleh korban. Sistem hukum Inggris : hukumannya
bersifat tidak mengikat, tetapi
hukumannya beragam. Dari mulai
denda hingga hukuman penjara
seumur hidup. Sistem peradilan Islam: hukuman
mati 4.Penyalahgunaan narkoba: ini
sangat umum terjadi disemua
kalangan, khususnya remaja.
Biasanya hal ini dianggap sebagai
kebiasaan yang tidak berbahaya.
Anda mungkin khawatir terhadap anak kecil atau kerabat. Tapi jika
tidak, anda seharusnya khawatir Sistem hukum Inggris: hukuman
tergantung dari sifat obatnya dan
jumlah yang dimiliki. Karena
alkohol sah di Inggris, untuk obat-
obat yang tergolong ringan seperti
marijuana, para pelanggarnya biasanya hanya diperingatkan, tapi
pemakai obat-obat yang tegolong
berat (seperti kokain, heroin)
mungkin dipenjara. Sistem peradilan Islam: para
pelanggar di dera 80 kali cambukan
di depan umum. 5.Zina: sehubungan dengan tekanan
masyarakat untuk memberikan ruang
terhadap kebebasan berhubungan dan
kebebasan seksual, anda berhak
khawatir terhadap perilaku remaja
ataupun orang dewasa yang terpengaruh oleh hal tersebut. Sistem hukum Inggris: kedua
kebebasan diatas adalah sah, baik
dilakukan antara lawan jenis
ataupun sejenis (yaitu homosex).
Bahkan bila anda mengkritik hal
ini, anda akan dituduh tidak toleran dan diskriminatif. Sistem peradilan Islam: perbuatan
zina (bagi yang masih lajang)
diganjar dengan 100 kali cambukan.
Sedang zina bagi orang dewasa/
menikah) dan zina homosex
keduanya dihukum mati ditempat umum. Tujuan dibalik pelaksanaan
peradilan dalam Islam adalah
bertindak sebagai pencegah, untuk
merubah sikap para pelanggar dan
untuk menyelamatkan masyarakat.
Sebagaimana diketahui, sifat dari hukuman-hukuman tersebut dalam
sistem Peradilan Islam memastikan
bahwa tujuan-tujuan tersebut
tercapai. Sejarah telah memberi
kesaksian akan hal ini dimana
hanya sekitar 200 orang tercatat yang dipotong tangannya dari
keseluruhan sejarah Negara Islam.
Tetapi di Barat, 70% narapidana
kembali melakukan kesalahan
sesaat setelah dibebasklan, dan
angka kejahatan tidak menunjukkan sebuah pencegahan yang
berhasil. Salah satu problem
mendasar yang ada di Barat adalah
komplitnya pertentangan idiologi
yang disandarkan kepada kehendak
masyarakat. Di satu sisi, dinyatakan bahwa kebebasan adalah hak asasi
individu. Dan hal inilah yang
membuka peluang terhadap tindak
kejahatan. Bila hal ini dihubungkan
dengan konsep demokrasi,
kontradiksi akan muncul sebab demokrasi adalah sebuah sistem
untuk membuat
undang-undang sebagai alat untuk
membatasi kebebasan. Dan hasil dari
konsep “amburadul” ini adalah
kekacauan!. Sementara, keadilan yang
dijalankan oleh sistem Peradilan
Islam akan menentramkan jiwa
anda, aman dan yakin bahwa hak-
hak anda tidak akan
disalahgunakan. Setelah mempertimbangkanadanya
ketakwaan personal dan opini umum,
tingkat peraturan terakhir adalah
Sistem Peradilan Islam menjamin
bahwa dunia akan terbebas dari
eksploitasi dan korupsi hukum buatan manusia dan juga tindak
kriminal yang menyertainya. Wallahu’alam bis showab!

hukum bekerja bank ribawy

PERTANYAAN: Alloh mengharamkan riba. Bekerja/
bermata pencaharian meribakan/
membungakan uang itu haram. Apakah
bekerja untuk lembaga riba/
perbankan itu haram?. Apakah sudah
ada fatwa pengharman terhadap pekerjaan di lingkungan riba/
perbankan?. Agung Sedayu JAWABAN: Dalam pembahasan fikih Islam akad
kerja termasuk dalam bab ijarah
(Sewa-menyewa dan kompensasi jasa).
Menurut syariat Islam, yang
dimaksud dengan ijarah adalah
akad atas manfaat atau jasa dengan suatu kompensasi (‘iwadh). (Lihat
Kitab Fikih Sunnah bab Ijarah, karya
Sayyid Sabiq). Dalam akad ijarah,
pihak yang mempekerjakan disebut
musta’jir (majikan), sedangkan
pihak yang bekerja atau mengerahkan tenaganya disebut ajir (pekerja/
buruh). Akad ijarah terikat dengan rukun-
rukun ijarah dan syarat-syarat sah
ijarah. Salah satu syarat sah ijarah
adalah manfaat barang atau jasa yang
diakadkan haruslah manfaat yang
diperbolehkan (mubah), bukan yang diharamkan. Jadi tidak
diperbolehkan mengontrak/
memperkerjakan seorang pekerja/
buruh (ajir) untuk memberikan jasa
yang diharamkan. Sehingga, tidak
diperbolehkan mempekerjakan seorang ajir untuk mengirim minuman
keras (khamr) kepada pembeli, serta
memproduksinya atau untuk
mengangkut babi dan bangkai. Hal ini
didasarkan atas hadits dari
Rasulullah Saw yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra:
“Rasulullah Saw melaknat dalam
hal khamr sepuluh pihak: yang
memerasnya, yang diperaskan,
peminumnya, yang membawakan, yang
dibawakan, yang menuangkan, penjualnya, yang memakan harganya,
yang membeli dan yang dibelikan”
(HR. At Tirmidzi) Tidak diperbolehkan juga ijarah
atas pekerjaan yang termasuk
aktivitas ribawi karena itu
merupakan ijarah atas manfaat yang
haram. Imam Muslim ra telah
mengeluarkan sebuah hadits dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata:
“Rasulullah Saw melaknat orang-
orang yang memakan riba , yang
memberi riba, penulisnya dan dua
orang saksinya. Dan Beliau bersabda:
mereka sama saja” Adapun bekerja di lembaga
keuangan/perbankan konvensional
(yang beroperasi dengan riba atau
bunga), menurut Yusuf Sabatin dalam
kitab al Buyu’ al Qadimah wa al
Mu’ashirah wa al Burshat al Mahaliyyah wa ad Duwalihay harus
dilihat: Pertama, jika aktivitas mereka
adalah bagian dari aktivitas riba,
maka seorang Muslim diharamkan
untuk terlibat di dalamnya. Misalnya
menjadi direktur bank, akuntan,
teller, dan semua aktivitas yang memberikan manfaat yang berkaitan
dengan riba, baika terkait secara
langsung maupun tidak. Kedua, aktivitas-aktivitas lain yang
tidak berkaitan dengan riba, baik
langsung atau tidak langsung, seperti
penjaga pintu, security, cleaning
service dan sebagainya, adalah
diperbolehkan karena itu adalah kontrak kerja atas manfaat/jasa
yang mubah. Juga karena pekerjaan
tersebut tidak bisa disamakan dengan
pekerjaan seorang pencatat riba dan
saksinya. Hukum yang sama berlaku bagi
pegawai direktorat yang bekerja
memberikan kredit kepada para
pengusaha atau petani dengan bunga
dan pegawai keuangan yang
mengerjakan aktivitas yang termasuk riba. Semuanya adalah pegawai-
pegawai yang hukumnya haram. Orang
yang bekerja di dalamnya dianggap
telah melakukan dosa besar karena
berlaku atasnya bahwa ia penulis riba
atau saksinya. Demikianlah, terkait dengan semua aktivitas yang
diharamkan Allah, seorang muslim
haram menjadi pegawai di dalamnya. Selain pendapat di atas, ada juga
pendapat yang secara mutlak
mengharamkan pekerjaan di
lingkungan perbankan konvensional.
Seperti Lajnah Da’imah lilbuhuts al-
Ilmiyah wa al-Ifta’ (Komite Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa)
Saudi Arabia. Dalam Fatwa Lajnah
Daimah 15/41 disebutkan: (seorang
muslim tidak boleh bekerja di bank
yang bermuamalah dengan riba,
meskipun pekerjaannya tidak langsung berkaitan dengan riba, tetapi
karena dia menyediakan keperluan
para pegawai yang bermuamalah
dengan riba dan bantuan yang mereka
perlukan untuk muamalah riba. Allah
Ta’alaa berfirman: (janganlah kalian tolong menolong dalam dosa
dan permusuhan) (QS Al-Maidah:2). Sejumlah ulama Saudi, seperti Syaikh
Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh
Muhammad al-Utsaimin juga secara
tegas mengatakan bahwa hukum
bekerja di perbankan ribawi adalah
haram. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh seorang guru besar
di Fakultas Dakwah Islamiyah,
Universitas Al Azhar Kairo, Dr.
Musthafa Murad. (lihat buku
karyanya yang berjudul: “1001
Kesalahan Dalam Ibadah dan Muamalah”). Wallahu A’lam Bi
Shawab.

Sabtu, 13 April 2013