This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 12 Maret 2014

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Peradilan Agama pada awalnya diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar di berbagai peraturan, yaitu Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610), Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639), dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syari’ah di Luar Jawa dan Madura. Kemudian baru pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam perkembangannya undang-undang ini mengalami beberapa kali sebagai akibat adanya perubahan atau Amandeman Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dirubah sebanyak dua kali, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan adanya perubahan tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan tentang kekuasaan atau kewenangan mengadili di pengadilan pada lingkungan Peradilan Agama. Pengertian Peradilan Agama Peradilan Agama adalah terjemahan dari Godsdienstige Rechtspraak (Bahasa Belanda) , berasal dari kata godsdienst yang berarti agama; ibadat; keagamaan dan kata rechtspraak berarti peradilan , yaitu daya upaya mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa yang dimaksud Peradilan Agama dalam undang-undang ini adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan Agama adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Pengertian Kewenangan Kewenangan disebut juga kekuasaan atau kompetensi, kompetensi berasal dari bahasa Latin competo, kewenangan yang diberikan undang-undang mengenai batas untuk melaksanakan sesuatu tugas; wewenang mengadili. Kompetensi dalam bahasa Belanda disebut competentie, kekuasaan (akan) mengadili; kompetensi. Kompetensi disebut juga kekuasaan atau kewenangan mengadili yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa di pengadilan atau pengadilan mana yang berhak memeriksa perkara tersebut. Ada dua macam kompetensi atau kekuasaan/kewenangan mengadili, yaitu kewenangan relatif dan kewenangan absolut. Sebelum membahas tentang kewenangan relatif dan kewenangan absolut sebaiknya perlu diketahui terlebih dahulu jenis-jenis perkara yang diperiksa Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Perkara yang diperiksa Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama ada dua macam, yaitu permohonan (voluntaire) dan gugatan (contentieus). Permohonan dan Gugatan Pemohonan adalah mengenai suatu perkara yang tidak ada pihak-pihak lain yang saling bersengketa. Gugatan adalah suatu perkara yang terdapat sengketa antara dua belah pihak. Perbedaan antara permohonan dan gugatan adalah sebagai berikut. - Dalam permohonan hanya ada satu pihak saja sedangkan dalam gugatan terdapat dua pihak yang bersengketa. - Dalam permohonan tidak terdapat sengketa sedangkan perkara gugatan terdapat sengketa antara kedua belah pihak. - Dalam permohonan hakim hanya menjalankan fungsi executive power atau administratif saja sehingga permohonan disebut jurisdictio voluntaria atau peradilan yang bukan sebenarnya. Sedangkan dalam gugatan hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus pihak yang benar dan yang tidak benar. Gugatan disebut juga Jurisdictio contentieus atau peradilan yang sesungguhnya. - Produk pengadilan dalam perkara permohonan berupa penetapan atau beschikking, disebut juga putusan declaratoir yaitu putusan yang sifatnya menerangkan atau menetapkan suatu keadaan atau status tertentu. Produk pengadilan dalam perkara gugatan berupa putusan atau vonnis, yang putusan dapat berupa putusan condemnatoir yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada para pihak yang bersengketa. - Penetapan hanya mengikat pada pemohon saja sehingga tidak mempunyai kekuatan eksekutorial atau penetapan tidak dapat dilaksanakan/eksekusi. Sedangkan putusan gugatan mengikat kepada kedua belah pihak sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial. Kewenangan Relatif Peradilan Agama Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah pembagian kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Negeri. Atau dengan kata lain Pengadilan Negeri mana yang berwenang memeriksa dan memutus perkara. Pengertian lain dari kewenangan relatif adalah kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan tingkatan. Misalnya antara Pengadilan Negeri Bogor dan Pengadilan Negeri Subang, Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja. Dari pengertian di atas maka pengertian kewenangan relatif adalah kekuasaan atau wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat tinggal/tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara. 1. Kewenangan Relatif Perkara Gugatan Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi: - gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal; - apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman tergugat; - apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat; - apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak. - Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih. Kewenangan relatif perkara gugatan pada Pengadilan Agama terdapat beberapa pengecualian sebagai berikut. a. Permohonan Cerai Talak Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara permohonan cerai talak diatur dalam pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut. - Apabila suami/pemohon yang mengajukan permohonan cerai talak maka yang berhak memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri/termohon. - Suami/pemohon dapat mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/pemohon apabila istri/termohon secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami. - Apabila istri/termohon bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami/pemohon. - Apabila keduanya keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat. b. Perkara Gugat Cerai Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara gugat cerai diatur dalam pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut. - Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai gugat adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri/penggugat. - Apabila istri/penggugat secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami maka perkara gugat cerai diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/tergugat. - Apabila istri/penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami/tergugat. - Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 2. Kewenangan Relatif Perkara Permohonan Untuk menentukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara permohonan adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon. Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu, perkara-perkara tersebut adalah sebagai sebagai berikut. - Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon. - Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon. - Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan. - Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri. Kewenangan Absolut Peradilan Agama Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang pada pokoknya adalah sebagai berikut. - perkawinan; - waris; - wasiat; - hibah; - wakaf; - zakat; - infaq; - shadaqah; dan - ekonomi syari’ah. Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: 1. Perkawinan Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain: 1. izin beristri lebih dari seorang; 2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3. dispensasi kawin; 4. pencegahan perkawinan; 5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah; 6. pembatalan perkawinan; 7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri; 8. perceraian karena talak; 9. gugatan perceraian; 10. penyelesian harta bersama; 11. penguasaan anak-anak; 12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya; 13. penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri; 14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak; 15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. pencabutan kekuasaan wali; 17. penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; 18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya; 19. pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya; 20. penetapan asal usul seorang anak; 21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; 22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu: 23. Penetapan Wali Adlal; 24. Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan. 2. Waris Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. 3. Wasiat Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. 4. Hibah Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. 5. Wakaf Yang dimaksud dengan “wakaf’ adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah. 6. Zakat Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. 7. Infaq Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala. 8. Shodaqoh Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata. 9. Ekonomi Syari’ah Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi: - bank syari’ah; - lembaga keuangan mikro syari’ah. - asuransi syari’ah; - reksa dana syari’ah; - obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; - sekuritas syari’ah; - pembiayaan syari’ah; - pegadaian syari’ah; - dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan - bisnis syari’ah. Dalam perkara ekonomi syari’ah belum ada pedoman bagi hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Untuk memperlancar proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Pasal 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa: 1) Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. 2) Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.

Sabtu, 08 Maret 2014

MAKALAH TENTANG HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU’

MAKALAH TENTANG HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU’ HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU’ Disusun oleh :Desri Kurnia, Dkk. Wudhu’ adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan sholat. Sah atau tidak sholat, sangat bergantung pada wudhu’ disamping syarat-syarat lainnya. Oleh karena itu masalah wudhu’ ini supaya diperhatikan benar, sehingga sholat yang dikerjakan tidak sia-sia. Mengenai hal-hal yang membatalkan wudhu’, terdapat perbedaan pendapat para ulama mujtahid. Berikut adalah hal-hal yang membatalkan wudhu’, dan ikhtilaf ulama didalamnya: A. KELUAR SESUATU DARI DUA JALAN Keluar sesuatu dari dua jalan (qubul= kemaluan dan dubur= pelepasan), seperti buang air kecil, buang air besar, keluar madzi (air kuning encer yang biasanya keluar dari qubul ketika seseorang merasakan nikmat), wadzi (air kental dan putih, serupa dengan air mani, biasanya keluar setelah kencing), mani, angin dan lain-lain[1]. Sebagai dalilnya adalah firman Allah: “…atau kembali dari tempat buang air…” (An-Nisa’: 43) Rasulullah SAW. bersabda: “Allah tidak menerima sholat seseorang apabila dia berhadats (keluar sesuatu dari qubul atau dubur), sebelum dia berwudhu’” (HR: Muttafaq Alaih). Nabi juga memerintahkan berwudhu’ kepada wanita yang sedang istihadhah ( semacam darah penyakit) pada tiap-tiap akan sholat setelah membersihkannya, dan tidak usah mandi. a. Menurut imam Hanafi, apapun yang keluar dari qubul dan dubur, membatalkan wudhu’, baik yang biasa mauopun yang tidak biasa. b. Menurut Malikiyah, bahwa batu kecil, ulat, cacing, darah dan nanah yang keluar dari qubul dan dubur tidak membatalkan wudhu’ dengan ketentuan, batu kecil (batu ginjal), ulat dan cacing itu berasal dari dalam perut. Namun apabila batu atau ulat itu tidak berasal dari dari dalam perut , seperti tertelan, kemudian keluar melalui dubur, ia membatalkan wudhu’. c. Syafi’iyah berpendapat, keluar mani tidak sampai membatalkan wudhu’,. Namun wajib mandi. d. Hanabilah berpendapat, bahwa apabila seseorang terus menerus berhadats, seperti air kencing terus-menetes, atau sebentar-sebentar menetes, tidak membatalkan wudhu’ asal setiap sholat melakukan wudhu’. B. HILANG AKAL Hilang akal bisa disebabkan gila, ayan, pingsan, mabuk, minum obat tidur atau tidur nyenyak sehingga hilang kesadaran seseorang. Mengenai hilang akal karena gila, pingsan dan mabuk telah sepakat ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah membatalkan wudhu’, karena seseorang tidak tahu apakah ia berhadats atau tidak, seperti keluar angin dan sebab lainnya yang membatalkan wudhu’. Mereka berbeda pendapat mengenai orang yang tidur. a. Hanafiyah berpendapat, bahwa tidur itu sendiri tidak membatalakan wudhu’ tetapi cara orang itu tidur yang perlu diperhatikan. 1) Ia idur dengan berbaring miring 2) Ia tidur telentang di atas punggungnya 3) Ia tidur diatas salah satu pangkal pahanya Wudhu’ seseorang menjadi batal, apabila dia tidur seperti yang disebutkan diatas. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Sesungguhnya wudhu’ itu tidak wajib kecuali bagi orang yang tidur dalam keadaan berbaring, karena bila dia tidur berbaring, maka menjadi lunaklah (ruas-ruas) persendiannya.” (HR: Abu Daud, Tarmidzi dan Ahmad) Hanafiyah menyamakan tidur berbaring dengan tidur telentang dan tidur di atas salah satu pangkal paha, karena persendiannya lunak, dan tidak dapat mengontrol apakah ia buang angin atau tidak. Kemudian mereka mengatakan wudhu’ seseorang tidak batal, sekiranya dia tidur duduk tegak tidak bergeser dari tempat duduknya, sejak dari mulai tidur sampai terjaga. Hal ini didasarkan keyakinan, bahwa persendiannya tidak merenggang yang memungkinkan dia berhadats (buang angin). b. Malikiyah berpendapat, bahwa tidur itu dapat membatalkan wudhu’ apabila seseorang tidurnya nyenyak, baik sebentar bmaupun lama, baik dalam keadaan berbaring, duduk, maupun sujud. Wudhu’ tidak batal, apabila seseorang tidur tidak nyenyak (tidur ringan). c. Syafi’iyah berpendapat bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila orang itu tidak mantap duduk di tempatnya. Apabila duduknya mantap, tidak bergeser dan tidak renggang, maka wudhu’nya tidak batal. Demikian juga, wudhu’ seseorang tidak batal, sekiranya hanya sekedar mengantuk saja dan suara di sekitar masih disengarnya, walaupun tidak memahamminya dengan sempurna. d. Hanabilah berpendapat, bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila dia tidur dalam keadaan bagaimanapun. C. BERSENTUHAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN Sentuhan dalam bahasa Arab disebut dan Oleh syafi’iyah dan hanabilah kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama. Berbeda dengan Hanafiyah dan Malikiyah, kedua istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri. a. Hanafiyah berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan tidak membatalkan wudhu’. b. Hanafiyah mendaarkan mazhab mereka kepada hadits Aisyah: “Rasulullah mencium sebagian istri-istrinya, lalu sholat tanpa wudhu’ lagi” (HR: Ahmad dan empat Ahli Hadits). Juga berdasarkan hadits Aisyah: “Sesunggguhnya Rasulullah SAW menciumnya dan saat itu beliau sedang puasa lalu beliau bersabda: ciuman ini tidak membatalakan wudhu’ dan tidak pula membatalakan puasa”. ( Dikeluarkan oleh Ishak bin Rahawaih dan Bazzar) Mengenai firman Allah dalam surat an-Nisa’: 43 yang berbunyi: (atau jika kamu menyentuh wanita). Maksudnya adalah “bersenggama”, kata kiasan dari (sentuh menyentuh). Pengertian ini diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas. Berdasarkan berita yang diterima dari Ubaid bin Humaid, bahwa Ibnu Abbas menafsirkan kata dalam ayat tersebut dengan “bersenggama=bersetubuh”.[2] Malikiyah berpendapat bahwa apabila seseorang menyentuh orang lain dengan tangannya atau dengan angota badan lainnya, maka wudhu’nya batal dengan beberapa syarat: Persyaratan bagi yang menyentuh adalah , dia suadah baligh dan bermaksud merasakan nikmat atau ada rangsangan dalam dirinya. Orang yang disentuh, wudhu’nya menjadi batal , apabila kulitnya disentuh tanpa ada batas penghalang seperti kain, ataupun batasnya ada tetapi terlalu tipis. Persyaratan lain bagi yang disentuh adalah oadalah orang yang dapat mengundang syahwat atau ada rangsangan, bersentuhan dengan gadis kecil tidak membatalkan wudhu’. Demikian juga wudhu’ tidak batal jika menyentuh wanita tua yang tidak mengundang syahwat. Jadi hal yang menjadi persoalan inti dalam mazhab Malik ini adalah adanya rangsangan (syahwat), baik bagi yang menyentuh maupun yang disentuh. c. Syafi’iyaH berpendapat bahwa menyentuh wanita bukan mahram akan membatalkan wudhu’ secara mutlak walaupun tiodak merasakan nikmat. Apakah laki-laki dan wanita itu sudah berusia lanjut atau masih muda. Oleh golongan Syafi’iyah dikatakan wudhu’ menjadi batal apabila sentuhan itu langsung dengan kulit, dan tidak ada batas penghalang seperti kain. Syafiiyah mengecualikan menyentuh rambut kuku dan gigi tidak membatalkan wudhu’. Menurut Syafi’iyah wudhu’ juga menjadi batal apabila menyentuh mayat, karena golongan ini tidak melihat pada adanya rangsangan atau tidak seperti pada golongan Malikiyah. d. Hanabilah berpendapat bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila bersentuhan disebabkan adanya syahwat dan tanpa batas penghalang. Golongan ini tidak membedakan wanita mahram atau tidak, hidup atau mati, tua atau muda, besar atau kecil. D. SESUATU YANG KELUAR DARI TUBUH BUKAN DARI DUA JALAN Sesuatu yang keluar dari tubuh seperti nanah, darah dan najis dapat membatalkan wudhu’ menurut segolongan ulama dan tidak membatalkan menurut pendapat lain. a. Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa sesuatu yang keluar selain dari qubul dan dubur, tidak membatalakan wudhu’. “Sesungguhnya Nabi pernah berbekam , kemudian beliau sholat tanpa wudhu’ lebih dahulu” (Dikeluarkan oleh Daruqutni). b. Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa sesuatu yang keluar dari tubuh selain qubul dan dubur dapat membatalkan wudhu’. Hanabilah mengatakan batal wudhu’ bila yang keluar itu banyak menurut pendapat umum. Sedangkan Hanafiayah mengatakan batalnya wudu’ bila yang keluar itu mengalir dari tempat keluarnya. “Siapa saja (sewaktu sedang sholat) muntah, mimisan, mengeluarkan dahak, atau madzi, hendakalah ia berpaling lalu berwudhu’, kemudian meneruskan sholatnya kembali dan dalam melakukan itu semua ia tidak boleh berkata-kata”. (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah). E. MENYENTUH KEMALUAN Menyentuh kemaluan sendiri dan kemaluan orang lain dalam hal batal tidaknya wudhu’ terdapat perbedaan pendapat. a. Hanafiyah berpendapat, bahawa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu’ apakah menyentuh kemaluan sendiri atau kemaluan orang lain. Mereka berpegang kepada hadits: Seseorang bertanya kepada Nabi: “saya menyentuh kemaluan saya sendiri atau katanya seseorang menyentuh kemaluannya sewaktu sholat, haruskah ia berwudhu’? Nabi menjawab: “Tidak, sesungguhnya ia (kemaluan) adalah bagian dari tubuhmu” (HR: Lima Ahli Hadits dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban). Juga berdasarkan riwayat Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Amran bin Hushin, Huzaifah bin al-Yaman, Abi Darda dan Abu Hurairah, mereka menganggap tidak batal menyentuh kemaluan. b. Malikiyah berpendapat bahwa seseorang yang menyentuh kemaluan, wudhu’nya menjadi batal dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Orang itu menyentuh kemaluan sendiri 2) Orang itu sudah baligh. 3) Sentuhan tanpa batas penghalang. 4) Sentuhan dengan bagian dalam telapak tangan, atau bagian tepi telapak tangan, atau bagian dalam jemari, atau bagian tepi jemari atau ujung dari tangan. Malikiyah memandang wudhu’ tidak batal bila seseorang menyentuh duburnya atau pelirnya atau wanita menyentuh kemaluannya, atau memasukkan jari-jarinya ke dalam kemaluannya. c. Syafi’iyah berpendapat bahwa menyentuh kemaluan sendiri dan kemaluan orang lain, membatalkan wudhu’ bahkan menmyentuh kemaluan mayat pun membatalkan wudhu’. “Siapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu’” (HR: Lima Ahli Hadits). Sabda Rasulullah: “Siapa saja laki-laki yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu’, dan siapa saja wanita yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu’” (HR: Ahmad). Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian terdahulu, bahwa menyentuh wanita tanpa batas penghalang membatalkan wudhu’. Menyentuh kemaluan tentu sudah termasuk dalam pengertian diatas, baik kemaluan anak klecil maupun orang mati. d. Hanabilah pendapat mereka sama dengan Syafi’iyah, dan yang berbeda adalah sentuhan dengan belakang telapak tangan pun membatalakan wudhu’, sedangakan Syafi’iyah sentuihan dengan telapak tangan bagian dalam membatalkan wudhu’, dengan belakang telapak tangan tidak. F. TERTAWA Tertawa terbahak-bahak membatalakan sholat dan wudhu’ menurut Hanafiyah bila dilakukan dalam sholat, namun bila diluar sholat tidak membatalkan. Sedangkan menurut mazhab Syafi’iyah, Malikiyah, Hambaliyah, Imamiyah, Jabir bin Abdullah dan Abu Musa al-Asy’ari, tidak membatalkan wudhu’ baik itu dilakukan dalam sholat maupun diluar sholat[3]. Namun para ahli fikih sepakat bahwa tertawa terbahak-bahak membatalkan sholat. G. MEMANDIKAN MAYAT Menurut hHanabilah, seseorang yang memandikan mayat wudhu’nya batal, berdasarkan hadits Aisyah: “Rasulullah SAW mandi karena empat sebab: karena janabah, hari jum’at, berbekam dan karena memandikan mayat” (HR: Abu Daud, Ahmad dan Baihaqi). Juga berdasarkan keterangan yang mengatakan bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas memerintahkan orang yang memandikan mayat supaya berwudhu’. Batalnya wudhu’ seseorang bila ia secara langsung memandikan amyat, dan tidak batal kalau hanya sekedar hanya membantu mengguyurkan air saja. H. MURTAD Murtad yaitu keluar dari agama Islam dan berarti orang itu kafir. Murtad adakalanya dengan perbuatan, keyakinan dan ucapan. Murtad adapat membatalkan wudu’, karena ia menghapuskan semua amal, sedangkan wudhu’ termasuk juga kedalam kategori amal. Allah berfirman: …Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan dihapuslah amalmu… (Az-Zumar: 65). Menurut Hanafi dan Syafi’I, murtad tidak membatalakan wudhu, berbeda dengan mazhab Hanbali, murtad itu membatalkan wudhu’. I. MEMAKAN DAGING UNTA Menurut mazhab Hanabilah, makan daging unta dapat membatalkan wudhu’[4]. “seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: “Apakah kami harus berwudhu’ karena memakan daging kambing?” Ya jika kamu suka, “Jawab Nabi. Apakah kami harus berwudhu’ karena makan daging unta? Tanyanya lagi. Beliau menjawab: “Ya” (berwudhu’lah” (Dikeluarkan oleh Muslim) Sedangkan menurut mazhab Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah dan Imamiyah tidak membatalkan wudhu’. J. RAGU BERWUDHU’ Menurut mMalikiyah orang yang yakin ia berwudhu’ atau berat dugaan ia masih suci, kemudian ia ragu, maka ia wajib berwudhu’. Kemudian apabila yakin seseorang berhadats, kemudian ia ragu ia masih suci, maka ia harus berwudhu’. Berbeda dengan jumhur selain Malikiyah, bahwa wudhu’ tidak batal sekiranya sudah yakin ia berwudhu’[5]. Sebab sesuatu yang sudah diyakini, tetap berpegang kepada yang diyakini, jangan berpegang kepada yang ragu. Juga berpegang kepada kaidah: “Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”. [1] M. Ali Hasan,Perbandingan Mazhab Fiqh, Raja Grafindo Persada. Jakarta, cet. Ke-2. 2002, hal. 35. [2] Ibid, hal. 41. [3] , Fiqih Perbandingan Lima Mazhab, Penerbit Cahaya, Jakarta. Cet.ke-1, jilid I. 2007, hal. 196. [4] Ibid. [5] Op.cit, hal. 52.