Senin, 17 Desember 2012

tarihk tasyri' periode tabi'in



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berbicara tentang tarikh tasyri’ tidak akan lepas dari factor yudikatif, eksekutif dan kondisi masyarakat, setiap pergantian generasi perkembangan selalu terjadi begitu juga dengan tarikh tasyri’, ada fenomene-feomena yang menarik dari berkembangnya tarikh tasyri’ dimulai dari masa Nabi sampai sekarang ini.
Pada masa Nabi tasyri’ langsung diterima dari Al-Rab yang menciptakan sari’at itu sendiri, dan perkembangan yang dilakukan nabi selalu diawasi oleh allah sendiri, jadi tidak diragukan lagi tentang kebenarannya, posisi nabi sebagai yudikatif dan aksekutif selalu menjadi acuan bagi masyarkat arab pada masa itu.
Perkembangan tasri’ pada masa sahabat tidak begitu drastic, perubahan yang terjadi hanya pada pola amplikasi saja, dan pada masa ini pendapat para sahabat terkait dengan tasyri masih bisa disatukan, tetapi perlu kita ketahui embrio pertama aksisnya perbedaan mazhab  itu adalah pada masa para sahabat setelah Nabi wafat, sehingga timbullah mazhab wishaya, mazhab hak illahi sehingga berkembang menjadi beberapa sekte.
Berkembangnya ulama’-ulama’ hijaz menjadi Ahlul Hadist dan Ra’yi adalah pengaruh pemikiran dari Ali, Ibnu Mas’ud, dan Umr bin Khatab yang sangat terkenal banyak menggunakan ra’yu dalam menetapkan hukum suatu masalah. Dalam hal ini, di kalangan para tabi’in banyak yang terpengaruh oleh cara istimbat hukum para sahabat tersebut, para tabi’in di Iraq terpengaruh oleh ijtihadnuya Ali sedangkan ulama’ hijaz  dipengaruhi oleh pemikiran ibnu abbas yang tidak menggunakan ra’yu.
Timbulnya mazhab sunny adalah perkembangn dari ulama ahlul ra’yu, termaksud juga ulama mazhab yaitu, mazhab Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbal.
Perbedaan pendapat dalam penerapan hukum-hukum sari’ah pada masa ini sengan berbeda, padahal kita ketahui bahwa Imam Safi’i adalah muridnya Imam Malik, tetapi kenapa dalam pemahaman tentang hukumnya berbeda. Dan yang menjadi tanda Tanya apakah dibalik perbedaan tersebut, apakah para imam ingin menciptakan sekte-sekte sendiri, apakah perbebedaan yang segnifikan itu karena dilator belakangi oleh tempat mereka bermukim seperti halnya Imam Safi’i dengan background Iraq dan mesirs sehingga hadirnya Qaul Qadim dan Qaul Jadidnya, Imam Hanifah yang dipengruhi oleh daerah Persia, Imam Malik yang dilatar belakangi oleh negeri Hijaz, dan Imam Hambali yang berlatar belakang sebagai imam di Bagdad, atau ada faktor-fakto yang lainnya.[1]
Dilatar belakangi oleh hal tersebut, maka kami pemekalah akan mencoba mengkaji masalah tersebut, dengan makalah kami yang berjudul Periode Atba’ Al-Fuqaha / Periode Mazhab. Mudah-mudahan makalah kami dapat member sedikit pandangan kepada para pembaca terkait tentang perkembangang tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab.

B.     Rumusan masalah
Adapun rumusan masalahyang kami bahas adalah:
1.      Bagai mana dinamika tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab ?
2.      Apa yang melatar belakangi perkembangan tarikh tasyiri’ pada masa imam mazhab?
3.      Bagaimana model ijtihad para imam mazhab terkait dengan tasyiri’?
4.      Faktor-faktor apa yang menyebabkan berkembangnya empat mazhab ?

C.    Tujuan
1.      Agar pembaca dapat mengetahui dinamika tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab.
2.      Untuk memberi pemahaman tentang hal yang melatar belakangi perkembangan tarikh tasyiri’ pada masa imam mazhab.
3.      Mengetahui model ijtihad para imam mazhab terkait dengan tasyiri’.


BAB II
PEMBAHASAN
A.   Faktor – Faktor Perkembangan Tasyri’
            Dari fragmentasi sejarah, bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini merupakan puncak Dari perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hokum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.
            Fenomena perkembangan tasyrik pada periode ini, seperti tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, bahwa tasyri’ memiliki keterkaitan sejarah yang panjangdan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya[2].
           . Seperti contoh hokum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggalk mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu Munculnya madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzhab-madzhabfiqih pada periode ini pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab yang dianut.
            Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong,  diantaranya[3] :
  1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islampun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
  2. Muncunya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikanpusat-pusat study tentang fiqih, yang diberi nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.
  3. Adanya kecenderungan masyarakat islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-ulama madzhab ketika menghadapi masalah hokum. Sehingga pemerintah (kholifah) merasa perlu menegakkan hokum islam dalam pemerintahannya.
  4. Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal trntang masalah politik seperti pengangkatan kholifah-kholifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai madzhab hukum islam[4].
B.    Mazhab – Mazhab Fiqh Dasar Pemikiran Dan Perkembangannya
1.      Madzhab Hanafi
Madzhab ini didirikan oleh Abu Hanifah yang nama lengkapnya al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Ia dilahirkan di kufah, ia lahir pada zaman dinasti Umayyah tepatnya pada zamankekuasaan Abdul malik ibn Marwan.
Pada awalnya Abu hanifah adalah seorang pedagang, atas anjuran al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran irak (ra’yu). Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum[5].
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtijad Abu Hanifah, diantaranya :
o       Bahwa perempuan boleh jadi hakim di pengadilan yang tugas khususnya menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya karena perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakan adalah qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan menjadikan hukum perempuan senagai far’.
o       Abu hanifah dan ulama kufah berpendapat bahwa sholat gerhana dilakukan dua rakaat sebagai mana sholat ’id tidak dilakukan dua kali ruku’ dalam satu rakaat.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua masa tersebut.
Madzhab hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengfan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.
Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan qawaid al-Fiqh, dan lain-lain. Dasar-dasar Madzhab Hanafi adalah :
o       Al-Qur’anul Karim
o       Sunnah Rosu dan atsar yang shahih lagi masyhur
o       Fatwa sahabat
o       Qiyas
o       Istihsan
o       Adat dan uruf masyarakat
Murid imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah : Imam Abu Yusuf al-An sharg, Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dll.

2.      Madzhab Maliki
Madzhab ini dibangun oleh Maliki bin Annas. Ia dilahirkan di madinah pada tahun 93 H. Imam Malik belajar qira’ah kepada Nafi’ bin Abi Ha’im. Ia belajar hadits kepada ulama madinah seperti Ibn Syihab al-Zuhri.
Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta’, sebuah kitab hadits bergaya fiqh. Inilah kitab tertua hadits dan fiqh tertua yang masih kita jumpai.[6]  Dia seorang Imam dalam ilmu hadits dan fiqih sekaligus. Orang sudah setuju atas keutamaan dan kepemimpinannya dalam dua ilmu ini. Dalam fatwqa hukumnya ia bersandar pada kitab Allah kemudian pada as-Sunnah. Tetapi beliau mendahulukan amalan penduduk madinah dari pada hadits ahad, dalam ini disebabkan karena beliau berpendirian pada penduduk madinah itu mewarisi dari sahabat.
Setelah as-Sunnah, Malik kembali ke qiyas. Satu hal yang tidak diragukan lagi bahwa persoalan-persoalan dibina atas dasar mashutih mursalah.
As-Ayafi’i menerima hadits darinya dan mahir ilmu fiqih kepadanya. Penduduk mesir, maghribi dan andalas banyak mendatangi kuliah-kuliahnya dan memperoleh manfaat besar darinya, serta menyebar luaskan di negeri mereka.
Kitab al-Mudawwanah sebagai dasar fiqih madzhab Maliki dan sudah dicetak dua kali di mesir dan tersebar luas disana, demikian pula kitab al-Muwatta’. Pembuatan undang-undang di mesir sudah memetik sebagian hukum dari madzhab Maliki untuk menjadi standar mahkamah sejarah mesir[7].
            Dasar madzhab Maliki dalam menentukan hukum adalah :
o       Al-qur’an
o       Sunnah
o       Ijma’ ahli madinah
o       Qiyas
o       Istishab / al-Mashalih al-Mursalah 
3.      Madzhab Syafi’i
Madzhab ini didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris al-Abbas. Madzhab fiqih as-Syafi’i merupakan perpaduan antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Ia terdiri dari dua pendapat, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di irak dan qaul jadid di mesir. Madzhab Syafi’i terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan hukum, karena kehati-hatian tersebut pendapatnya kurang terasa tegas.
Syafi’i pernah belajar Ilmu Fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al-Haram dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Umayyah sampai matang dalam ilmu fiqih. Al-Syafi’i mulai melakukan kajian hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodelogi kajian hukum yang cenderung memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran madinah maupun kuffah. Dalam kontek fiqihnya syafi’i mengemukakan pemikiran bahwa hukum Islam bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah serta Ijma’ dan apabila ketiganya belum memaparkan ketentuan hukum yang jelas, beliau mempelajari perkataan-perkataan sahabat dan baru yang terakhir melakukan qiyas dan istishab[8].
            Di antara buah pena/karya-karya Imam Syafi’i, yaitu :
o       Ar-Risalah : merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali disusun.
o   Al-Umm : isinya tentang berbagai macam masalah fiqih berdasarkan pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam kitab ushul fiqih.

4.      Mazhab Hambali
Pendiri Mazhab Hambali ialah: Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.
Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah:
  1. Nash Al-Qur-an atau nash hadits.
  2. Fatwa sebagian Sahabat.
  3. Pendapat sebagian Sahabat.
  4. Hadits Mursal atau Hadits Doif.
  5. Qiyas.
Dalam menjelaskan dasar-dasar fatwa Ahmad bin Hanbal ini di dalam kitabnyaI’laamul Muwaaqi’in.
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut:
  1. Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani yang terkenal dengan nama Al-Atsram; dia telah mengarang Assunan Fil Fiqhi ‘Alaa Mazhabi Ahamd.
  2. Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj al-Marwazi yang mengarang kitab As Sunan Bisyawaahidil Hadis.
  3. Ishaq bin Ibrahim yang terkenal dengan nama Ibnu Ruhawaih al-Marwazi dan termasuk ashab Ahmad terbesar yang mengarang kitab As Sunan Fil Fiqhi.
Ada beberapa ulama yang mengikuti jejak langkah Imam Ahmad yang menyebarkan mazhab Hambali, di antaranya:
  1. Muwaquddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi yang mengarang kitab Al-Mughni.
  2. Syamsuddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi pengarang Assyarhul Kabiir.
  3. Syaikhul Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu Taimiyah pengarang kitab terkenal Al-Fataawa.
  4. Ibnul Qaiyim al-Jauziyah pengarang kitab I’laamul Muwaaqi’in dan Atturuqul Hukmiyyah fis Siyaasatis Syar’iyyah.Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh yang membela dan mengembangkan mazhab Hambali.
C.    Pengaruh Pembukuan Usul Fiqh Dan Fiqh Terhadap Perkembangan Tasyri’
Pembukuan Ushul fiqih dilakukan pada masa Imam Mujtahid/Imam Mazhab (Para Imam Mujtahid), yang terdiri dari:
1) Imam Abu Hanifah (80—150H)
2) Malik bin Anas (93-179 H)
3) Imam Syafi’I (150-204 H)
4) Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah perkembangan wilayah Islam yang makin luas, yang berimplikasi bagi munculnya berbagai persoalan baru yang membutuhkan jawaban hukum syara.Untuk itu para ulama sangat membutuhkan kaidah-kaidah yang standar dan sudah terbukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Para pengikut mazhab masing-masing mengklaim gurunya (pendiri mazhabnya) sebagai penyusun pertama ushul fiqh, yaitu:
a. Golongan Hanafiyah mengklaim Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani sebagai orang pertama menyusun ilmu ushul fiqh Alasannya, Abu Hanifah adalah orang pertama yang menjelaskan metode istimbath dalam buku Ar-Ra’y, sedangkan Abu Yusuf menyusun tulisan Ushul Fiqh. Demikian pula Muhammad bin Hasan Menyusun Kitab Ushul Fiqh sebelum Syafi’i
b. Golongan Malikiyah juga mengklaim Imam Malik sebagai orang pertama berbicara ilmu ushul fiqh. Tapi mereka tidak mengklaim Imam Malik sebagai orang Pertama menyusun kitab Ushul Fiqh
c. Syi’ah Imamiyah juga mengklaim Muhammad Baqir Ibnu Ali Ibn Zainal Abidin kemudianm diteruskan putranya Ja’far Shodiq,
d. Golongan Syafi’iyah juga mengklaim Imam Syafi’i sebagai orang pertama menyusun Kitab Ushul Fiqh dengan nama Ar-Risalah
Klaim Hanafiyah dibantah Ali Abdul Raziq, bahwa Abu Yusuf dan Asy-Syabani menyusun ushul fiqh sangat cenderung untuk mendukung metode istihsan gurunya yang sangat ditentang ahli hadits.
Orang yang menyusun ilmu ushul fiqh secara lengkap dan komprehsnif dan tidak sektarian adalah Imam Syafi’ dengan karya Ar-Risalah.
Klaim Malikiyah wajar, namun harus dicatat, bahwa pembahasan ushul fiqh dengan metodologi ushul juga sudah terjadi di masa sahabat dan tabi’in, Jadi bukan Imam Malik yang pertama membicarakan Ushul Fiqh.
Imam Syafii dianggap sebagai ulama pertama menyusun Ilmu ushul fiqh, karena beliau secara komprehensif telah merumuskan kaidah-kaidah fiqhiyyah bagi setiap bab dalam bab-ban fiqh, menganalisisnya serta mengaplikasikan kaedah-kaedah itu atas masalah furu’.
Imam Syafii dalam Ar-Risalah berhasil merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong ulama untuk mengistimbath hukum dari sumber-sumber syar’i, tanpa terikat pendapat seorang faqih (ulama) tertentu, sehingga ushul fiqhnya betul-betul independen dan sempurna.
Jalaluddin Al-Suyuthi berkata, “Disepakati bahwa Asy-Syafii adalah peletak batu pertama Ilmu ushul fiqh yang lengkap dan independen. Dia orang pertama yang menulis ilmunya secara tersendiri.
Adapun Malik dalam Al-Muwaththa hanya menunjukkan sebagian kaedah-kaedah, demikian pula Abu Yusuf dan Muhammad Hasan Syaibani.

















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hokum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis. Munculnya madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzhab-madzhabfiqih pada periode ini.
Mazhab – mazhab fiqh dasar pemikiran dan perkembangannya :
1.      Madzhab Hanafi
Madzhab ini didirikan oleh Abu Hanifah yang nama lengkapnya al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Ia dilahirkan di kufah, ia lahir pada zaman dinasti Umayyah tepatnya pada zamankekuasaan Abdul malik ibn Marwan.
2.      Madzhab Maliki
Madzhab ini dibangun oleh Maliki bin Annas. Ia dilahirkan di madinah pada tahun 93 H. Imam Malik belajar qira’ah kepada Nafi’ bin Abi Ha’im. Ia belajar hadits kepada ulama madinah seperti Ibn Syihab al-Zuhri.
3.      Madzhab Syafi’i
Madzhab ini didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris al-Abbas. Madzhab fiqih as-Syafi’i merupakan perpaduan antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Ia terdiri dari dua pendapat, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di irak dan qaul jadid di mesir. Madzhab Syafi’i terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan hukum, karena kehati-hatian tersebut pendapatnya kurang terasa tegas.
4.      Mazhab Hambali
Pendiri Mazhab Hambali ialah: Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H.
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah perkembangan wilayah Islam yang makin luas, yang berimplikasi bagi munculnya berbagai persoalan baru yang membutuhkan jawaban hukum syara.Untuk itu para ulama sangat membutuhkan kaidah-kaidah yang standar dan sudah terbukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.














DAFTAR PUSTAKA

v  Schacht, Joseph. Pengantar Hukum Islam. (Jakarta: Departemen Agama, 1985)
v  Khalil, Rasyad Hasan. Abdul Fatah Abdullah Al-Barsumi. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami.( Beirut: Dar Al-Fikr, Tanpa tahun)
v  Al Mansur, Asep Saifuddin. Kedudukan mazhab dalam syari’at islam. Jakarta: pustaka Al-Husna, 1984)




[1] Asep Saifuddin Al-Mansur. Kedudukan Mazhab dalam Syari’at Islam .( Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1984), 40
[2] Mun’im. A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Islamabat : Risalah Bush, 1995, hal. 76
[3] Mahjuddin, Ilmu Fiqih, Jember : P.T. GBI Pasuruan, 1991, hal. 111
[4] Fathurrahman, Djamail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, hal. 09

[5] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, hal. 71
[6] Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : PT Raya Grafindo Persada, 1996, hal. 105
[7] AB, Wahhab,  Khollaf, Khulashoh Tarikh tasyri’ Islam, Solo : CV. Ramadhani, 1991, hal. 89
[8] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 149

0 komentar: