This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 09 Agustus 2017

WANITA

Wanita siapa yg tidak tahu wanita, setiap pria mengaharapkan wanita. Wanita itu beragam, ada cantik, ada juga yg cantik menurut kreteria pria pd umumnya.
Namun didapat dari photo diatas. Terdapat photo yg diambil seseorang yg tidak ada referensinya. Wanita tersebut seperti seperti manyun namun terlihat bahagia. Bah seperti melihat permandangan indah pepohonan yg tertiup angin berada di antara pegunungan yg di atasnya terang benerang warna pelangi nan indah.
Kesimpulannya adalah WANITA itu ibarat anak kecil yg lucu,ketika dia marah,nangis,kecewa,senang tetap membuat HATI pria BAHAGIA.

Selasa, 07 Februari 2017

Mimpi Seorang Habaib Dari Mekkah yang Menyatakan Rasulullah Mempunyai Pencintanya Di Kalimantan

Tatkala salah satu guru Prof. DR. al-Muhaddits as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dan Al-'Allamah al-'Arif billah Syaikh Utsman bersama rombongan ulama lainnya pergi berziarah ke Makam Rasulullah saw., tiba-tiba beliau diberikankasyaf (tersingkapnya hijab) oleh Allah swt. dapat berjumpa dengan Rasulullah saw. 
Di belakang Nabi Muhammad saw. sangat banyak orang yang berkerumunan. Ketika ditanya oleh guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki itu: “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang itu?”
Rasulullah saw. pun menjawab: “Mereka adalah umatku yang sangat aku cintai.”
Dan diantara sekumpulan orang yang banyak itu ada sebagian kelompok yang sangat banyak jumlahnya. Lalu guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki bertanya lagi:“Ya Rasulullah, siapakah mereka yang berkelompok sangat banyak itu?”
Rasulullah saw. kemudian menjawab: “Mereka adalah bangsa Indonesia yang sangat banyak mencintaiku dan aku mencintai mereka.
Akhirnya, guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki itu menangis terharu dan terkejut. Lalu beliau keluar dan bertanya kepada jama’ah: “Mana orang Indonesia? Aku sangat cinta kepada Indonesia.” (Dikutip dari ceramah Syaikh KH. Muhyiddin Abdul Qadir al-Manafi).

Bukti kecintaan as-Sayyid Muhammad al-Maliki kepada orang Indonesia adalah dengan membangunkan Pesantren khusus untuk orang Indonesia di Mekkah. Dan beliau sangat senang dan bahagia apabila ada orang/ulama Indonesia yang menyempatkan bersilaturrahim di rumahnya. Bahkan beliau sering memberikan buah tangan (hadiah) kepada orang/ulama Indonesia yang bersilaturrahim tersebut.

Oleh Herman Mansiz Dari Berbagai Sumber

Rabu, 30 November 2016

Lyrik lagu ciptaan ku

Ketika diriku merasa sepi
Sebongkah emaspun terasa sunyi
Inginya ku lihat cahaya kini
Namun ku tak tau.tp ku sayang kamu....2×
Ref
Sendiri ku disini meratap sedih
Dimalam ini,,,
Meringis yg tiada henti mendapat cahaya di dalam mimpi,,,
Hanya dirimu tenangkan jiwaku ..ooh....

Lagu tercipta untuk mu .NH and M

Rabu, 12 Maret 2014

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Peradilan Agama pada awalnya diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar di berbagai peraturan, yaitu Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610), Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639), dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syari’ah di Luar Jawa dan Madura. Kemudian baru pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam perkembangannya undang-undang ini mengalami beberapa kali sebagai akibat adanya perubahan atau Amandeman Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dirubah sebanyak dua kali, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan adanya perubahan tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan tentang kekuasaan atau kewenangan mengadili di pengadilan pada lingkungan Peradilan Agama. Pengertian Peradilan Agama Peradilan Agama adalah terjemahan dari Godsdienstige Rechtspraak (Bahasa Belanda) , berasal dari kata godsdienst yang berarti agama; ibadat; keagamaan dan kata rechtspraak berarti peradilan , yaitu daya upaya mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa yang dimaksud Peradilan Agama dalam undang-undang ini adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan Agama adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Pengertian Kewenangan Kewenangan disebut juga kekuasaan atau kompetensi, kompetensi berasal dari bahasa Latin competo, kewenangan yang diberikan undang-undang mengenai batas untuk melaksanakan sesuatu tugas; wewenang mengadili. Kompetensi dalam bahasa Belanda disebut competentie, kekuasaan (akan) mengadili; kompetensi. Kompetensi disebut juga kekuasaan atau kewenangan mengadili yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa di pengadilan atau pengadilan mana yang berhak memeriksa perkara tersebut. Ada dua macam kompetensi atau kekuasaan/kewenangan mengadili, yaitu kewenangan relatif dan kewenangan absolut. Sebelum membahas tentang kewenangan relatif dan kewenangan absolut sebaiknya perlu diketahui terlebih dahulu jenis-jenis perkara yang diperiksa Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Perkara yang diperiksa Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama ada dua macam, yaitu permohonan (voluntaire) dan gugatan (contentieus). Permohonan dan Gugatan Pemohonan adalah mengenai suatu perkara yang tidak ada pihak-pihak lain yang saling bersengketa. Gugatan adalah suatu perkara yang terdapat sengketa antara dua belah pihak. Perbedaan antara permohonan dan gugatan adalah sebagai berikut. - Dalam permohonan hanya ada satu pihak saja sedangkan dalam gugatan terdapat dua pihak yang bersengketa. - Dalam permohonan tidak terdapat sengketa sedangkan perkara gugatan terdapat sengketa antara kedua belah pihak. - Dalam permohonan hakim hanya menjalankan fungsi executive power atau administratif saja sehingga permohonan disebut jurisdictio voluntaria atau peradilan yang bukan sebenarnya. Sedangkan dalam gugatan hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus pihak yang benar dan yang tidak benar. Gugatan disebut juga Jurisdictio contentieus atau peradilan yang sesungguhnya. - Produk pengadilan dalam perkara permohonan berupa penetapan atau beschikking, disebut juga putusan declaratoir yaitu putusan yang sifatnya menerangkan atau menetapkan suatu keadaan atau status tertentu. Produk pengadilan dalam perkara gugatan berupa putusan atau vonnis, yang putusan dapat berupa putusan condemnatoir yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada para pihak yang bersengketa. - Penetapan hanya mengikat pada pemohon saja sehingga tidak mempunyai kekuatan eksekutorial atau penetapan tidak dapat dilaksanakan/eksekusi. Sedangkan putusan gugatan mengikat kepada kedua belah pihak sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial. Kewenangan Relatif Peradilan Agama Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah pembagian kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Negeri. Atau dengan kata lain Pengadilan Negeri mana yang berwenang memeriksa dan memutus perkara. Pengertian lain dari kewenangan relatif adalah kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan tingkatan. Misalnya antara Pengadilan Negeri Bogor dan Pengadilan Negeri Subang, Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja. Dari pengertian di atas maka pengertian kewenangan relatif adalah kekuasaan atau wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat tinggal/tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara. 1. Kewenangan Relatif Perkara Gugatan Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi: - gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal; - apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman tergugat; - apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat; - apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak. - Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih. Kewenangan relatif perkara gugatan pada Pengadilan Agama terdapat beberapa pengecualian sebagai berikut. a. Permohonan Cerai Talak Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara permohonan cerai talak diatur dalam pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut. - Apabila suami/pemohon yang mengajukan permohonan cerai talak maka yang berhak memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri/termohon. - Suami/pemohon dapat mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/pemohon apabila istri/termohon secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami. - Apabila istri/termohon bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami/pemohon. - Apabila keduanya keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat. b. Perkara Gugat Cerai Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara gugat cerai diatur dalam pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut. - Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai gugat adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri/penggugat. - Apabila istri/penggugat secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami maka perkara gugat cerai diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/tergugat. - Apabila istri/penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami/tergugat. - Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 2. Kewenangan Relatif Perkara Permohonan Untuk menentukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara permohonan adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon. Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu, perkara-perkara tersebut adalah sebagai sebagai berikut. - Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon. - Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon. - Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan. - Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri. Kewenangan Absolut Peradilan Agama Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang pada pokoknya adalah sebagai berikut. - perkawinan; - waris; - wasiat; - hibah; - wakaf; - zakat; - infaq; - shadaqah; dan - ekonomi syari’ah. Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: 1. Perkawinan Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain: 1. izin beristri lebih dari seorang; 2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3. dispensasi kawin; 4. pencegahan perkawinan; 5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah; 6. pembatalan perkawinan; 7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri; 8. perceraian karena talak; 9. gugatan perceraian; 10. penyelesian harta bersama; 11. penguasaan anak-anak; 12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya; 13. penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri; 14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak; 15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. pencabutan kekuasaan wali; 17. penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; 18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya; 19. pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya; 20. penetapan asal usul seorang anak; 21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; 22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu: 23. Penetapan Wali Adlal; 24. Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan. 2. Waris Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. 3. Wasiat Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. 4. Hibah Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. 5. Wakaf Yang dimaksud dengan “wakaf’ adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah. 6. Zakat Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. 7. Infaq Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala. 8. Shodaqoh Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata. 9. Ekonomi Syari’ah Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi: - bank syari’ah; - lembaga keuangan mikro syari’ah. - asuransi syari’ah; - reksa dana syari’ah; - obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; - sekuritas syari’ah; - pembiayaan syari’ah; - pegadaian syari’ah; - dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan - bisnis syari’ah. Dalam perkara ekonomi syari’ah belum ada pedoman bagi hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Untuk memperlancar proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Pasal 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa: 1) Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. 2) Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.

Sabtu, 08 Maret 2014

MAKALAH TENTANG HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU’

MAKALAH TENTANG HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU’ HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU’ Disusun oleh :Desri Kurnia, Dkk. Wudhu’ adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan sholat. Sah atau tidak sholat, sangat bergantung pada wudhu’ disamping syarat-syarat lainnya. Oleh karena itu masalah wudhu’ ini supaya diperhatikan benar, sehingga sholat yang dikerjakan tidak sia-sia. Mengenai hal-hal yang membatalkan wudhu’, terdapat perbedaan pendapat para ulama mujtahid. Berikut adalah hal-hal yang membatalkan wudhu’, dan ikhtilaf ulama didalamnya: A. KELUAR SESUATU DARI DUA JALAN Keluar sesuatu dari dua jalan (qubul= kemaluan dan dubur= pelepasan), seperti buang air kecil, buang air besar, keluar madzi (air kuning encer yang biasanya keluar dari qubul ketika seseorang merasakan nikmat), wadzi (air kental dan putih, serupa dengan air mani, biasanya keluar setelah kencing), mani, angin dan lain-lain[1]. Sebagai dalilnya adalah firman Allah: “…atau kembali dari tempat buang air…” (An-Nisa’: 43) Rasulullah SAW. bersabda: “Allah tidak menerima sholat seseorang apabila dia berhadats (keluar sesuatu dari qubul atau dubur), sebelum dia berwudhu’” (HR: Muttafaq Alaih). Nabi juga memerintahkan berwudhu’ kepada wanita yang sedang istihadhah ( semacam darah penyakit) pada tiap-tiap akan sholat setelah membersihkannya, dan tidak usah mandi. a. Menurut imam Hanafi, apapun yang keluar dari qubul dan dubur, membatalkan wudhu’, baik yang biasa mauopun yang tidak biasa. b. Menurut Malikiyah, bahwa batu kecil, ulat, cacing, darah dan nanah yang keluar dari qubul dan dubur tidak membatalkan wudhu’ dengan ketentuan, batu kecil (batu ginjal), ulat dan cacing itu berasal dari dalam perut. Namun apabila batu atau ulat itu tidak berasal dari dari dalam perut , seperti tertelan, kemudian keluar melalui dubur, ia membatalkan wudhu’. c. Syafi’iyah berpendapat, keluar mani tidak sampai membatalkan wudhu’,. Namun wajib mandi. d. Hanabilah berpendapat, bahwa apabila seseorang terus menerus berhadats, seperti air kencing terus-menetes, atau sebentar-sebentar menetes, tidak membatalkan wudhu’ asal setiap sholat melakukan wudhu’. B. HILANG AKAL Hilang akal bisa disebabkan gila, ayan, pingsan, mabuk, minum obat tidur atau tidur nyenyak sehingga hilang kesadaran seseorang. Mengenai hilang akal karena gila, pingsan dan mabuk telah sepakat ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah membatalkan wudhu’, karena seseorang tidak tahu apakah ia berhadats atau tidak, seperti keluar angin dan sebab lainnya yang membatalkan wudhu’. Mereka berbeda pendapat mengenai orang yang tidur. a. Hanafiyah berpendapat, bahwa tidur itu sendiri tidak membatalakan wudhu’ tetapi cara orang itu tidur yang perlu diperhatikan. 1) Ia idur dengan berbaring miring 2) Ia tidur telentang di atas punggungnya 3) Ia tidur diatas salah satu pangkal pahanya Wudhu’ seseorang menjadi batal, apabila dia tidur seperti yang disebutkan diatas. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Sesungguhnya wudhu’ itu tidak wajib kecuali bagi orang yang tidur dalam keadaan berbaring, karena bila dia tidur berbaring, maka menjadi lunaklah (ruas-ruas) persendiannya.” (HR: Abu Daud, Tarmidzi dan Ahmad) Hanafiyah menyamakan tidur berbaring dengan tidur telentang dan tidur di atas salah satu pangkal paha, karena persendiannya lunak, dan tidak dapat mengontrol apakah ia buang angin atau tidak. Kemudian mereka mengatakan wudhu’ seseorang tidak batal, sekiranya dia tidur duduk tegak tidak bergeser dari tempat duduknya, sejak dari mulai tidur sampai terjaga. Hal ini didasarkan keyakinan, bahwa persendiannya tidak merenggang yang memungkinkan dia berhadats (buang angin). b. Malikiyah berpendapat, bahwa tidur itu dapat membatalkan wudhu’ apabila seseorang tidurnya nyenyak, baik sebentar bmaupun lama, baik dalam keadaan berbaring, duduk, maupun sujud. Wudhu’ tidak batal, apabila seseorang tidur tidak nyenyak (tidur ringan). c. Syafi’iyah berpendapat bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila orang itu tidak mantap duduk di tempatnya. Apabila duduknya mantap, tidak bergeser dan tidak renggang, maka wudhu’nya tidak batal. Demikian juga, wudhu’ seseorang tidak batal, sekiranya hanya sekedar mengantuk saja dan suara di sekitar masih disengarnya, walaupun tidak memahamminya dengan sempurna. d. Hanabilah berpendapat, bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila dia tidur dalam keadaan bagaimanapun. C. BERSENTUHAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN Sentuhan dalam bahasa Arab disebut dan Oleh syafi’iyah dan hanabilah kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama. Berbeda dengan Hanafiyah dan Malikiyah, kedua istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri. a. Hanafiyah berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan tidak membatalkan wudhu’. b. Hanafiyah mendaarkan mazhab mereka kepada hadits Aisyah: “Rasulullah mencium sebagian istri-istrinya, lalu sholat tanpa wudhu’ lagi” (HR: Ahmad dan empat Ahli Hadits). Juga berdasarkan hadits Aisyah: “Sesunggguhnya Rasulullah SAW menciumnya dan saat itu beliau sedang puasa lalu beliau bersabda: ciuman ini tidak membatalakan wudhu’ dan tidak pula membatalakan puasa”. ( Dikeluarkan oleh Ishak bin Rahawaih dan Bazzar) Mengenai firman Allah dalam surat an-Nisa’: 43 yang berbunyi: (atau jika kamu menyentuh wanita). Maksudnya adalah “bersenggama”, kata kiasan dari (sentuh menyentuh). Pengertian ini diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas. Berdasarkan berita yang diterima dari Ubaid bin Humaid, bahwa Ibnu Abbas menafsirkan kata dalam ayat tersebut dengan “bersenggama=bersetubuh”.[2] Malikiyah berpendapat bahwa apabila seseorang menyentuh orang lain dengan tangannya atau dengan angota badan lainnya, maka wudhu’nya batal dengan beberapa syarat: Persyaratan bagi yang menyentuh adalah , dia suadah baligh dan bermaksud merasakan nikmat atau ada rangsangan dalam dirinya. Orang yang disentuh, wudhu’nya menjadi batal , apabila kulitnya disentuh tanpa ada batas penghalang seperti kain, ataupun batasnya ada tetapi terlalu tipis. Persyaratan lain bagi yang disentuh adalah oadalah orang yang dapat mengundang syahwat atau ada rangsangan, bersentuhan dengan gadis kecil tidak membatalkan wudhu’. Demikian juga wudhu’ tidak batal jika menyentuh wanita tua yang tidak mengundang syahwat. Jadi hal yang menjadi persoalan inti dalam mazhab Malik ini adalah adanya rangsangan (syahwat), baik bagi yang menyentuh maupun yang disentuh. c. Syafi’iyaH berpendapat bahwa menyentuh wanita bukan mahram akan membatalkan wudhu’ secara mutlak walaupun tiodak merasakan nikmat. Apakah laki-laki dan wanita itu sudah berusia lanjut atau masih muda. Oleh golongan Syafi’iyah dikatakan wudhu’ menjadi batal apabila sentuhan itu langsung dengan kulit, dan tidak ada batas penghalang seperti kain. Syafiiyah mengecualikan menyentuh rambut kuku dan gigi tidak membatalkan wudhu’. Menurut Syafi’iyah wudhu’ juga menjadi batal apabila menyentuh mayat, karena golongan ini tidak melihat pada adanya rangsangan atau tidak seperti pada golongan Malikiyah. d. Hanabilah berpendapat bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila bersentuhan disebabkan adanya syahwat dan tanpa batas penghalang. Golongan ini tidak membedakan wanita mahram atau tidak, hidup atau mati, tua atau muda, besar atau kecil. D. SESUATU YANG KELUAR DARI TUBUH BUKAN DARI DUA JALAN Sesuatu yang keluar dari tubuh seperti nanah, darah dan najis dapat membatalkan wudhu’ menurut segolongan ulama dan tidak membatalkan menurut pendapat lain. a. Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa sesuatu yang keluar selain dari qubul dan dubur, tidak membatalakan wudhu’. “Sesungguhnya Nabi pernah berbekam , kemudian beliau sholat tanpa wudhu’ lebih dahulu” (Dikeluarkan oleh Daruqutni). b. Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa sesuatu yang keluar dari tubuh selain qubul dan dubur dapat membatalkan wudhu’. Hanabilah mengatakan batal wudhu’ bila yang keluar itu banyak menurut pendapat umum. Sedangkan Hanafiayah mengatakan batalnya wudu’ bila yang keluar itu mengalir dari tempat keluarnya. “Siapa saja (sewaktu sedang sholat) muntah, mimisan, mengeluarkan dahak, atau madzi, hendakalah ia berpaling lalu berwudhu’, kemudian meneruskan sholatnya kembali dan dalam melakukan itu semua ia tidak boleh berkata-kata”. (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah). E. MENYENTUH KEMALUAN Menyentuh kemaluan sendiri dan kemaluan orang lain dalam hal batal tidaknya wudhu’ terdapat perbedaan pendapat. a. Hanafiyah berpendapat, bahawa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu’ apakah menyentuh kemaluan sendiri atau kemaluan orang lain. Mereka berpegang kepada hadits: Seseorang bertanya kepada Nabi: “saya menyentuh kemaluan saya sendiri atau katanya seseorang menyentuh kemaluannya sewaktu sholat, haruskah ia berwudhu’? Nabi menjawab: “Tidak, sesungguhnya ia (kemaluan) adalah bagian dari tubuhmu” (HR: Lima Ahli Hadits dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban). Juga berdasarkan riwayat Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Amran bin Hushin, Huzaifah bin al-Yaman, Abi Darda dan Abu Hurairah, mereka menganggap tidak batal menyentuh kemaluan. b. Malikiyah berpendapat bahwa seseorang yang menyentuh kemaluan, wudhu’nya menjadi batal dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Orang itu menyentuh kemaluan sendiri 2) Orang itu sudah baligh. 3) Sentuhan tanpa batas penghalang. 4) Sentuhan dengan bagian dalam telapak tangan, atau bagian tepi telapak tangan, atau bagian dalam jemari, atau bagian tepi jemari atau ujung dari tangan. Malikiyah memandang wudhu’ tidak batal bila seseorang menyentuh duburnya atau pelirnya atau wanita menyentuh kemaluannya, atau memasukkan jari-jarinya ke dalam kemaluannya. c. Syafi’iyah berpendapat bahwa menyentuh kemaluan sendiri dan kemaluan orang lain, membatalkan wudhu’ bahkan menmyentuh kemaluan mayat pun membatalkan wudhu’. “Siapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu’” (HR: Lima Ahli Hadits). Sabda Rasulullah: “Siapa saja laki-laki yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu’, dan siapa saja wanita yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu’” (HR: Ahmad). Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian terdahulu, bahwa menyentuh wanita tanpa batas penghalang membatalkan wudhu’. Menyentuh kemaluan tentu sudah termasuk dalam pengertian diatas, baik kemaluan anak klecil maupun orang mati. d. Hanabilah pendapat mereka sama dengan Syafi’iyah, dan yang berbeda adalah sentuhan dengan belakang telapak tangan pun membatalakan wudhu’, sedangakan Syafi’iyah sentuihan dengan telapak tangan bagian dalam membatalkan wudhu’, dengan belakang telapak tangan tidak. F. TERTAWA Tertawa terbahak-bahak membatalakan sholat dan wudhu’ menurut Hanafiyah bila dilakukan dalam sholat, namun bila diluar sholat tidak membatalkan. Sedangkan menurut mazhab Syafi’iyah, Malikiyah, Hambaliyah, Imamiyah, Jabir bin Abdullah dan Abu Musa al-Asy’ari, tidak membatalkan wudhu’ baik itu dilakukan dalam sholat maupun diluar sholat[3]. Namun para ahli fikih sepakat bahwa tertawa terbahak-bahak membatalkan sholat. G. MEMANDIKAN MAYAT Menurut hHanabilah, seseorang yang memandikan mayat wudhu’nya batal, berdasarkan hadits Aisyah: “Rasulullah SAW mandi karena empat sebab: karena janabah, hari jum’at, berbekam dan karena memandikan mayat” (HR: Abu Daud, Ahmad dan Baihaqi). Juga berdasarkan keterangan yang mengatakan bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas memerintahkan orang yang memandikan mayat supaya berwudhu’. Batalnya wudhu’ seseorang bila ia secara langsung memandikan amyat, dan tidak batal kalau hanya sekedar hanya membantu mengguyurkan air saja. H. MURTAD Murtad yaitu keluar dari agama Islam dan berarti orang itu kafir. Murtad adakalanya dengan perbuatan, keyakinan dan ucapan. Murtad adapat membatalkan wudu’, karena ia menghapuskan semua amal, sedangkan wudhu’ termasuk juga kedalam kategori amal. Allah berfirman: …Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan dihapuslah amalmu… (Az-Zumar: 65). Menurut Hanafi dan Syafi’I, murtad tidak membatalakan wudhu, berbeda dengan mazhab Hanbali, murtad itu membatalkan wudhu’. I. MEMAKAN DAGING UNTA Menurut mazhab Hanabilah, makan daging unta dapat membatalkan wudhu’[4]. “seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: “Apakah kami harus berwudhu’ karena memakan daging kambing?” Ya jika kamu suka, “Jawab Nabi. Apakah kami harus berwudhu’ karena makan daging unta? Tanyanya lagi. Beliau menjawab: “Ya” (berwudhu’lah” (Dikeluarkan oleh Muslim) Sedangkan menurut mazhab Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah dan Imamiyah tidak membatalkan wudhu’. J. RAGU BERWUDHU’ Menurut mMalikiyah orang yang yakin ia berwudhu’ atau berat dugaan ia masih suci, kemudian ia ragu, maka ia wajib berwudhu’. Kemudian apabila yakin seseorang berhadats, kemudian ia ragu ia masih suci, maka ia harus berwudhu’. Berbeda dengan jumhur selain Malikiyah, bahwa wudhu’ tidak batal sekiranya sudah yakin ia berwudhu’[5]. Sebab sesuatu yang sudah diyakini, tetap berpegang kepada yang diyakini, jangan berpegang kepada yang ragu. Juga berpegang kepada kaidah: “Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”. [1] M. Ali Hasan,Perbandingan Mazhab Fiqh, Raja Grafindo Persada. Jakarta, cet. Ke-2. 2002, hal. 35. [2] Ibid, hal. 41. [3] , Fiqih Perbandingan Lima Mazhab, Penerbit Cahaya, Jakarta. Cet.ke-1, jilid I. 2007, hal. 196. [4] Ibid. [5] Op.cit, hal. 52.

Minggu, 29 September 2013

hadist tentang Hadhanah

HADITS TENTANG HAK PEMELIHARAAN ANAK (HADHANAH) . Pendahuluan Anak yang yang orang tuanya bercerai atau meninggal, akan mendapatkan pengasuhan atau pemeliharaan yang layak . Dalam Islam, tidak bisa sembarangan orang saja yang memelihara anak. Karena itulah, Islam telah mengatur hak pemeliharaan anak tersebut. Dalam pembahasan kali ini, kita akan melihat pengaturan Islam dalam hak pemeliharaan anak ditinjau dari kajian hadits rasulullah SAW. Maka dari itulah makalah ini penulis beri judul “hadits tentang hak pemeliharaan anak (hadhanah). Pembahasan Hadhanah menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu dipangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga ‘hadhanah’ dijadikan istilah yang maksudnya :”pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirimya yang dilakukan oleh kerabat anak itu. Para ulama fiqih mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan menutur tanggung jawab. [1] 1. Hak pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai Artinya: Dari Abdullah Ibnu Amar bahwa ada seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, susuku yang memberinya minum, dan pangkuanku yang melindunginya. Namun ayahnya yang menceraikanku ingin merebutnya dariku. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: "Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim. [2] Apabila seorang suami menceraikan istri sedangkan ia memiliki seorang anak darinya, maka sang istri lebih berhak untuk memelihara anak tersebut sampai ia baligh dan selama ia tidak menikah dengan laki-laki lain. Apabila sudah berusia tujuh tahun, maka ia disuruh memilih antara ikut ayahnya atau ibunya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW: Artinya: Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, suamiku ingin pergi membawa anakku, padahal ia berguna untukku dan mengambilkan air dari sumur Abu 'Inabah untukku. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Wahai anak laki, ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan siapa dari yang engkau kehendaki."
Lalu ia memegang tangan ibunya dan ia membawanya pergi. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi. [3] Dalam hadits lain juga dikatakan: Artinya: Dari Rafi' Ibnu Sinan Radliyallaahu 'anhu bahwa ia masuk Islam namun istrinya menolak untuk masuk Islam. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mendudukkan sang ibu di sebuah sudut, sang ayah di sudut lain, dan sang anak beliau dudukkan di antara keduanya. Lalu anak itu cenderung mengikuti ibunya. Maka beliau berdoa: "Ya Allah, berilah ia hidayah." Kemudian ia cenderung mengikuti ayahnya, lalu ia mengambilnya. Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim. Jadi hak pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai, ketentuannya adalah: a. Apabila ia masih kecil (belum baligh), maka yang berhak untuk memeliharanya adalah ibunya. b. Apabila ia sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, maka si anak berhak untuk menentukan dengan siapa ia akan ikut. 2. Status bibi dalam hak pemeliharaan anak Kalau kasus yang terjadi adalah ibu atau kedua orang tuanya meninggal, maka orang yang berhak mengasuh anak yang ditinggalkan adalah bibi (dari pihak ibu) sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hal pemutusan hak asuh terhadap putri Hamzah: Artinya: Dari al-Barra' Ibnu 'Azb bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam telah memutuskan puteri Hamzah agar dipelihara saudara perempuan ibunya. Beliau bersabda: "Saudara perempuan ibu (bibi) kedudukannya sama dengan ibu." Riwayat Bukhari. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda: Artinya: Ahmad juga meriwayatkan dari hadits Ali r.a, beliau bersabda: "Anak perempuan itu dipelihara oleh saudara perempuan ibunya karena sesungguhnya ia adalah ibunya." Jadi jelaslah bahwa hak asuh terhadap anak (belum baligh) yang ibunya atau kedua orang tuanya meninggal, maka orang yang paling dekat yang berhak untuk mengasuhnya adalah bibinya yang berasal dari pihak ibunya. Hal ini berdasarkan pada hadits diatas yang menyatakan bahwa kedudukan bibi (saudara perempuan ibu) itu adalah sama kedudukannya dengan ibu. 3. Memperhatikan kesejahteraan pengasuh anak Rasulullah SAW bersabda: Artinya: Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila pelayan salah seorang di antara kamu datang membawa makanannya, maka jika tidak diajak duduk bersamanya, hendaknya diambilkan sesuap atau dua suap untuknya." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari. Maksudnya seseorang majikan hendaklah pada waktu datang makan bila pelayannya menghidangkan makanan kepadanya hendaklah ia mengajak pelayan itu untuk makan bersama dan jika tidak mau hendaklah majikan mengambilkan untuk pelayan itu sesuap atau dua suap dari makanann yang terhidang untuk tuannya. Hubungannya dengan pengasuh anak adalah, apabila sebuah keluarga memiliki orang khusus yang ditunjuk sebagai pengasuh anak, maka hendaklah keluarga tersebut menyetarakan kedudukan pengasuh tersebut dan tidak terlalu membeda-bedakannya dengan anggota keluarga yang lain. [1] http://praboe- yudistira.blogspot.com/2010/03/
hadhanah-pemeliharaan-anak.html [2] Terjemahan Bulughul Maram, (Bandung : Gema Risalah Pres
Bandung, 1996), hal. 253 [3] Ibid, h. 254

Sabtu, 07 September 2013

“Kota Satu Tuhan, Tiga Agama dan Sejuta Pertikaian”

Selasa, 07 Mei 2013

sejarah tahun masehi

َﺮَﺼَﺒْﻟﭐَﻭ َﻊْﻤَّﺴﻟﭐ َّﻥِﺇ ۚ ٌﻢْﻠِﻋ ۦِﻪِﺑ
ﺎًۭﻟﻮُٔـْﺴَﻣ ُﻪْﻨَﻋ َﻥﺎَﻛ َﻚِﺌَٰٓﻟ۟ﻭُﺃ ُّﻞُﻛ َﺩﺍَﺆُﻔْﻟﭐَﻭ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ْﻢُﻬْﻨِﻣ َﻮُﻬَﻓ ٍﻡْﻮَﻘِﺑ َﻪَّﺒَﺸَﺗ ْﻦَﻣ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”. Merujuk pada Ayat dan hadits di atas, maka alangkah baiknya kalau kita seharusnya tabayun (kroscek) dahulu asal muasal dari perayaan tahun baru masehi. Kenapa harus 1 Januari? Dan budaya dari kaum apakah perayaan tersebut? Hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjebak oleh ketidaktahuan kita yang akan menyebabkan kita terlempar ke dalam kesesatan. Sejarah Tahun Baru 1 Januari Mari kita buka The World Book Encyclopedia tahun 1984, volume 14, halaman 237. “The Roman ruler Julius Caesar
established January 1 as New Year’s
Day in 46 BC. The Romans dedicated
this day to Janus , the god of gates,
doors, and beginnings. The month of
January was named after Janus, who had two faces – one looking forward
and the other looking backward.” terjemahan bebasnya kurang lebih begini : “Penguasa Romawi Julius Caesar
menetapkan 1 Januari sebagai hari
permulaan tahun baru semenjak abad
ke 46 SM. Orang Romawi
mempersembahkan hari ini (1 Januari)
kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan (waktu).
Bulan Januari diambil dari nama
Janus sendiri, yaitu dewa yang
memiliki dua wajah – sebuah
wajahnya menghadap ke (masa) depan
dan sebuahnya lagi menghadap ke (masa) lalu.”, Perayaan Tahun di beberapa Negara terkait dengan Ritual Keagamaan Bulan Januari (bulannya Janus) juga ditetapkan setelah Desember dikarenakan Desember adalah pusat Winter Soltice, yaitu hari-hari dimana kaum pagan penyembah Matahari merayakan ritual mereka saat musim dingin. Pertengahan Winter Soltice jatuh pada tanggal 25 Desember, dan inilah salah satu dari sekian banyak pengaruh Pagan pada budaya kristen selain penggunaan lambang Salib Tanggal 1 Januari sendiri adalah seminggu setelah pertengahan Winter Soltice, yang juga termasuk dalam bagian ritual dan perayaan Winter Soltice dalam Paganisme. tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—
yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil. Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah,
bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang). Sosok dewa Janus dalam mitologi Romawi Dewa Janus sendiri adalah sesembahan kaum Pagan Romawi, dan pada peradaban sebelumnya di Yunani telah disembah sosok yang sama bernama dewa Chronos. Kaum Pagan, atau dalam bahasa kita disebut kaum kafir penyembah berhala, hingga kini biasa memasukkan budaya mereka ke dalam budaya kaum lainnya, sehingga terkadang tanpa sadar kita mengikuti mereka. Sejarah pelestarian budaya Pagan (penyembahan berhala) sudah ada semenjak zaman Hermaic (3600 SM) di Yunani Kaum Pagan sendiri biasa merayakan tahun baru mereka (atau Hari Janus) dengan mengitari api unggun, menyalakan kembang api, dan bernyanyi bersama. Kaum Pagan di beberapa tempat di Eropa juga menandainya dengan memukul lonceng atau meniup terompet. Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa , tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al- Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi. Bagi orang Persia yang beragama Majūsî (penyembah api), menjadikan tanggal 1 Januari sebagai hari raya mereka yang dikenal dengan hari Nairuz atau Nurus. Penyebab mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari raya adalah, ketika Raja mereka, ‘Tumarat’ wafat, ia digantikan oleh seorang yang bernama ‘Jamsyad’, yang ketika dia naik tahta ia merubah namanya menjadi ‘Nairuz’ pada awal tahun. ‘Nairuz’ sendiri berarti tahun baru. Kaum Majūsî juga meyakini, bahwa pada tahun baru itulah, Tuhan menciptakan cahaya sehingga memiliki kedudukan tinggi. Kisah perayaan mereka ini direkam dan diceritakan oleh al-Imâm an- Nawawî dalam buku Nihâyatul ‘Arobdan al-Muqrizî dalam al- Khuthoth wats Tsâr. Di dalam perayaan itu, kaum Majūsî menyalakan api dan mengagungkannya –karena mereka adalah penyembah api. Kemudian orang-orang berkumpul di jalan-jalan, halaman dan pantai, mereka bercampur baur antara lelaki dan wanita, saling mengguyur sesama mereka dengan air dan khomr (minuman keras). Mereka berteriak-teriak dan menari-nari sepanjang malam. Orang-orang yang tidak turut serta merayakan hari Nairuz ini, mereka siram dengan air bercampur kotoran. Semuanya dirayakan dengan kefasikan dan kerusakan. Bagaimana sikap kita? Setelah kita mengetahui bahwa tradisi Perayaan 1 januari merupakan Perayaan yang terkait dengan ritual keagamaan dan budaya dari kufar ,dan adanya larangan untuk menyerupai sebuah kaum. maka sebaiknya kita tidak perlu ikut ikutan merayakannya apalagi meniru budaya dari kaum kufar. semoga kita semua senantiasa ingat Firman Allah ini : ﺎَﻟَﻭ َﻚَﻟ َﺲْﻴَﻟ ﺎَﻣ ُﻒْﻘَﺗ َﺮَﺼَﺒْﻟﭐَﻭ َﻊْﻤَّﺴﻟﭐ َّﻥِﺇ ۚ ٌﻢْﻠِﻋ ۦِﻪِﺑ
ﺎًۭﻟﻮُٔـْﺴَﻣ ُﻪْﻨَﻋ َﻥﺎَﻛ َﻚِﺌَٰٓﻟ۟ﻭُﺃ ُّﻞُﻛ َﺩﺍَﺆُﻔْﻟﭐَﻭ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya hadîts yang melarang menyepakati perayaan kaum kuffâr banyak sekali.
Diantaranya adalah : ﻦﻋ ﺲﻧﺃ ﻦﺑ ﻚﻟﺎﻣ – ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻨﻋ – :ﻝﺎﻗ ﻡﺪﻗ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ – ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ – ،ﺔﻨﻳﺪﻤﻟﺍ ﻢﻬﻟﻭ ﻥﺎﻣﻮﻳ ﻥﻮﺒﻌﻠﻳ ،ﺎﻤﻬﻴﻓ :ﻝﺎﻘﻓ ﺎﻣ ﻥﺍﺬﻫ ،ﻥﺎﻣﻮﻴﻟﺍ :ﺍﻮﻟﺎﻗ ﺎﻨﻛ ﺐﻌﻠﻧ ﺎﻤﻬﻴﻓ ﻲﻓ .ﺔﻴﻠﻫﺎﺠﻟﺍ ﻝﺎﻘﻓ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ – ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ :– ﻥﺇ) ﻪﻠﻟﺍ ﺪﻗ ﻢﻜﻟﺪﺑﺃ ﺎﻤﻬﺑ ًﺍﺮﻴﺧ ،ﺎﻤﻬﻨﻣ (ﺮﻄﻔﻟﺍ ﻡﻮﻳﻭ ،ﻰﺤﺿﻷﺍ ﻡﻮﻳ Dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ’anhu beliau berkata : Rasūlullâh Shallâllâhu ’alahi wa Sallam tiba di Madînah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” RasūlullâhShallâllâhu ’alaihi wa Sallam mengatakan : ”Sesungguhnya Allôh telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhhâ dan
idul fithri.” [Shahîh riwayat Imâm Ahmad, Abū Dâwud, an-Nasâ`î dan al- Hâkim.] Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata : ﻪﺟﻮﻓ ﺔﻟﻻﺪﻟﺍ ﻥﺃ ﻦﻴﻣﻮﻴﻟﺍ ﻦﻴﻴﻠﻫﺎﺠﻟﺍ ﻢﻟ ﺎﻤﻫﺮﻘﻳ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ – ﻪﻠﻟﺍ ﻢﻬﻛﺮﺗ ﻻﻭ – ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻥﻮﺒﻌﻠﻳ ﺎﻤﻬﻴﻓ ﻰﻠﻋ ،ﺓﺩﺎﻌﻟﺍ ﻞﺑ ﻝﺎﻗ ﻥﺇ ﻪﻠﻟﺍ ﺪﻗ ﻢﻜﻟﺪﺑﺃ ،ﻦﻳﺮﺧﺁ ﻦﻴﻣﻮﻳ ﺎﻤﻬﺑ ﺀﻲﺸﻟﺍ ﻦﻣ ﻝﺍﺪﺑﻹﺍﻭ ﻲﻀﺘﻘﻳ ﻙﺮﺗ ﻝﺪﺒﻤﻟﺍ ،ﻪﻨﻣ ﺫﺇ ﻻ ﻊﻤﺠﻳ ﻦﻴﺑ ﻝﺪﺒﻟﺍ .ﻪﻨﻣ ﻝﺪﺒﻤﻟﺍﻭ ”Sisi pendalilan hadîts di atas adalah, bahwa dua hari raya jahiliyah tersebut tidak disetujui oleh RasūlullâhShallâllâhu ’alaihi wa Sallam dan Rasūlullâh tidak meninggalkan (memperbolehkan) mereka bermain-main di dalamnya sebagaimana biasanya. Namun beliau menyatakan bahwa sesungguhnya Allôh telah mengganti kedua hari itu dengan dua hari raya lainnya. Penggantian suatu hal mengharuskan untuk meninggalkan sesuatu yang diganti, karena suatu yang mengganti dan yang diganti tidak akan bisa bersatu.” Adapun âtsar sahabat dan ulama salaf dalam masalah ini, sangatlah banyak. Diantaranya adalah ucapan ’Umar radhiyallâhu ’anhu, beliau berkata : ﻢﻫﺪﻴﻋ ﻲﻓ ﻪﻠﻟﺍ ﺀﺍﺪﻋﺃ ﺍﻮﺒﻨﺘﺟﺍ ”Jauhilah hari-hari perayaan musuh- musuh Allôh.” [Sunan al- Baihaqî IX/234]. ’Abdullâh bin ’Amr radhiyallâhu ’anhumâ berkata : ﻦﻣ ﻰﻨﺑ ﺩﻼﺒﺑ ﻢﺟﺎﻋﻷﺍ ﻊﻨﺻﻭ ﻢﻫﺯﻭﺮﻴﻧ ﻢﻬﻧﺎﺟﺮﻬﻣﻭ ﻪﺒﺸﺗﻭ ، ﻰﺘﺣ ﻢﻬﺑ ﻚﻟﺬﻛ ﻮﻫﻭ ﺕﻮﻤﻳ ﺔﻣﺎﻴﻘﻟﺍ ﻡﻮﻳ ﻢﻬﻌﻣ ﺮِﺸُﺣ ”Barangsiapa yang membangun negeri orang-orang kâfir, meramaikan peringatan hari raya nairuz (tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.” [Sunan al- Baihaqî IX/234]. Imâm Muhammad bin Sîrîn berkata : : ﻲﺗُﺃ ﻰﻠﻋ ﻲﺿﺭ- ﻪﻠﻟﺍ -ﻪﻨﻋ ﺔﻳﺪﻬﺑ .ﺯﻭﺮﻴﻨﻟﺍ ﻝﺎﻘﻓ : ﺎﻣ ﺍﺬﻫ ؟ ﺍﻮﻟﺎﻗ : ﺎﻳ ﺮﻴﻣﺃ ﻦﻴﻨﻣﺆﻤﻟﺍ ﺍﺬﻫ ﻡﻮﻳ ﺯﻭﺮﻴﻨﻟﺍ . ﻝﺎﻗ : ﺍﻮﻌﻨﺻﺎﻓ ﻞﻛ ﻡﻮﻳ ًﺍﺯﻭﺮﻴﻓ . ﺯﻭﺮﻴﻧ : ﻝﻮﻘﻳ ﻥﺃ ﻩﺮﻛ : ﺔﻣﺎﺳﺃ ﻝﺎﻗ ’’Alî radhiyallâhu ’anhu diberi hadiah peringatan Nairuz (Tahun Baru), lantas beliau berkata : ”apa ini?”. Mereka menjawab, ”wahai Amîrul Mu’minîn, sekarang adalah hari raya Nairuz.” ’Alî menjawab, ”Jadikanlah setiap hari kalian Fairuz .” Usâmah berkata : Beliau (’Alî mengatakan Fairuz karena) membenci mengatakan ”Nairuz”. [Sunan al-Baihaqî IX/234]. Imâm Baihaqî memberikan komentar : ﻲﻓﻭ ﺍﺬﻫ ﺔﻫﺍﺮﻜﻟﺍ ﺺﻴﺼﺨﺘﻟ ﻡﻮﻳ ﻚﻟﺬﺑ ﻢﻟ ﻪﺑ ًﺎﺻﻮﺼﺨﻣ ﻉﺮﺸﻟﺍ ﻪﻠﻌﺠﻳ ”Ucapan (’Alî) ini menunjukkan bahwa beliau membenci mengkhususkan hari itu sebagai hari raya karena tidak ada syariat yang mengkhususkannya.” Apabila demikian ini sikap manusia- manusia terbaik, lantas mengapa kita lebih menerima pendapat dan ucapan orang-orang yang jâhil dan mengikuti budaya kaum kuffâr daripada ucapan para sahabat yang mulia ini. Hari Raya Kita Adalah Idul Fithri dan Idul Adhhâ serta Jum’at Di dalam hadîts yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minîn, ’Â`isyah ash- Shiddîqah binti ash- Shiddîqradhiyallâhu ’anhumâ, beliau menceritakan bahwa ayahanda beliau, Abū Bakr radhiyallâhu ’anhumengunjungi Rasūlullâh. Kemudian Abū Bakr mendengar dua gadis jâriyah menyanyi dan mengingkarinya. Mendengar hal ini, Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda : ﺎﻳ ﺎﺑﺃ ﺮﻜﺑ ! ﻥﺇ ﻞﻜﻟ ﻡﻮﻗ ًﺍﺪﻴﻋ ﻥﺇﻭ ﺎﻧﺪﻴﻋ ﺍﺬﻫ ﻡﻮﻴﻟﺍ ”Wahai Abū Bakr, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya dan hari
raya kita adalah pada hari ini.” [HR Bukhârî]. Dari hadîts di atas, ada dua hal yang bisa kita petik : Pertama, sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam : ”Sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya” menunjukkan bahwa setiap kaum itu memiliki hari raya sendiri-sendiri. Hal ini sebagaimana firman Allôh Ta’âlâ : ًﺎﺟﺎَﻬْﻨِﻣَﻭ ًﺔَﻋْﺮِﺷ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ﺎَﻨْﻠَﻌَﺟ ٍّﻞُﻜِﻟ ”Untuk tiap-tiap (ummat) diantara kalian ada aturan dan jalannya yang terang (tersendiri).” [QS al-Mâ`idah : 48]. Ayat di atas menunjukkan bahwa Allôh memberikan aturan dan jalan sendiri-sendiri secara khusus. KataLâm ( ِﻝ) pada kata Likullin ( ٍّﻞُﻜِﻟ ) menunjukkan makna ikhtishâsh (pengkhususan).
Apabila orang Yahūdi memiliki hari raya dan orang Nashrâni juga memiliki hari raya, maka hari-hari raya itu adalah khusus bagi mereka dan tidak boleh bagi kita, kaum muslimin, ikut turut serta dalam perayaan mereka, sebagaimana kita tidak boleh ikut dalam aturan dan jalan mereka. Kedua, sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam : ﻥﺇﻭ ﺎﻧﺪﻴﻋ ﺍﺬﻫ ﻡﻮﻴﻟﺍ (Dan hari raya kita adalah pada hari ini”), dalam bentuk ma’rifah (definitif) dengan lâm dan idhâfah menunjukkan hasyr (pembatasan),
yaitu bahwa jenis hari raya kita dibatasi hanya pada hari itu. Dan hari tersebut di sini masuk pada cakupan hari raya ’îdul Fithri dan ’îdul Adhhâ, seperti dalam perkataan para ulama fikih : ﺪﻴﻌﻟﺍ ﻡﻮﻳ ﻡﻮﺻ ﺯﻮﺠﻳ ﻻ ”Tidak boleh berpuasa pada hari raya”. Maka maksudnya tentu saja, tidak boleh berpuasa pada dua hari raya ’Idul Fithri dan ’Idul Adhhâ. Dalîl lainnya adalah hadîts Anas bin Mâlik : ﻦﻋ ﺲﻧﺃ ﻦﺑ ﻚﻟﺎﻣ – ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻨﻋ – :ﻝﺎﻗ ﻡﺪﻗ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ – ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ – ،ﺔﻨﻳﺪﻤﻟﺍ ﻢﻬﻟﻭ ﻥﺎﻣﻮﻳ ﻥﻮﺒﻌﻠﻳ ،ﺎﻤﻬﻴﻓ :ﻝﺎﻘﻓ ﺎﻣ ﻥﺍﺬﻫ ،ﻥﺎﻣﻮﻴﻟﺍ :ﺍﻮﻟﺎﻗ ﺎﻨﻛ ﺐﻌﻠﻧ ﺎﻤﻬﻴﻓ ﻲﻓ .ﺔﻴﻠﻫﺎﺠﻟﺍ ﻝﺎﻘﻓ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ – ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ :– ﻥﺇ) ﻪﻠﻟﺍ ﺪﻗ ﻢﻜﻟﺪﺑﺃ ﺎﻤﻬﺑ ًﺍﺮﻴﺧ ،ﺎﻤﻬﻨﻣ (ﺮﻄﻔﻟﺍ ﻡﻮﻳﻭ ،ﻰﺤﺿﻷﺍ ﻡﻮﻳ Dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ’anhu beliau berkata : Rasūlullâh Shallâllâhu ’alahi wa Sallam tiba di Madînah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” RasūlullâhShallâllâhu ’alaihi wa Sallam mengatakan : ”Sesungguhnya Allôh telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhhâ dan
idul fithri.” [Shahîh riwayat Imâm Ahmad, Abū Dâwud, an-Nasâ`î dan al- Hâkim.] Adapun Jum’at, maka termasuk hari raya kaum muslimin yang berulang- ulang dalam tiap pekannya. Sehingga dengannya telah cukup bagi kita dan tidak mencari hari-hari perayaan lainnya. Dalîl hal ini adalah, sabda Nabî yang mulia Shallâllâhu ’alahi wa Sallam : ﻞﺿﺃ ﻪﻠﻟﺍ ﻦﻋ ﺔﻌﻤﺠﻟﺍ ﻦﻣ ﻥﺎﻛ ﺎﻨﻠﺒﻗ ، ﻥﺎﻜﻓ ﺩﻮﻬﻴﻠﻟ ﻡﻮﻳ ،ﺖﺒﺴﻟﺍ ﻥﺎﻛﻭ ﻯﺭﺎﺼﻨﻠﻟ ﻡﻮﻳ ﺪﺣﻷﺍ ﺀﺎﺠﻓ ﻪﻠﻟﺍ ،ﺎﻨﺑ ﺎﻧﺍﺪﻬﻓ ﻪﻠﻟﺍ ﻡﻮﻴﻟ ،ﺔﻌﻤﺠﻟﺍ ﻞﻌﺠﻓ ﺔﻌﻤﺠﻟﺍ ﻡﻮﻳ ﺎﻨﻟ ﻊﺒﺗ ﻢﻫ ﻚﻟﺬﻛﻭ ، ﺪﺣﻷﺍﻭ ﺖﺒﺴﻟﺍﻭ ،ﺔﻣﺎﻴﻘﻟﺍ ﻦﺤﻧ ﻥﻭﺮﺧﻵﺍ ﻦﻣ ﻞﻫﺃ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ، ﻢﻬﻟ ﻲﻀﺘﻘﻤﻟﺍ ،ﺔﻣﺎﻴﻘﻟﺍ ﻡﻮﻳ ﻥﻮﻟﻭﻷﺍﻭ ”Alloh simpangkan dari hari Jum’at umat sebelum kita, dahulu Yahudi memiliki (hari agung) pada hari Sabtu dan Nashrani pada hari Ahad. Kemudian Allôh datangkan kita dan Alloh anugerahi kita dengan hari Jum’at, lantas Alloh jadikan hari Jum’at, Sabtu dan Ahad. Demikianlah, mereka adalah kaum yang akan mengekor kepada kita pada hari kiamat sedangkan kita adalah umat yang terakhir dari para penduduk dunia namun umat yang awal pada hari kiamat, yang diadili (pertama kali) sebelum makhluk-makhluk lainnya. [HR Muslim] Dari Ibnu ’Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata,
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda : ﻥﺇ ﻡﻮﻳ ﺍﺬﻫ ﻪﻠﻌﺟ ﺪﻴﻋ ﻦﻴﻤﻠﺴﻤﻠﻟ ﻪﻠﻟﺍ ﺀﺎﺟ ﻦﻤﻓ …ﻞﺴﺘﻐﻴﻠﻓ ﺔﻌﻤﺠﻟﺍ ”Sesungguhnya hari ini adalah hari ’Ied yang Alloh jadikan bagi kaum Muslimin, barangsiapa yang mendapati hari Jum’at hendaknya ia mandi…” [HR Ibnu Majah dalam Shahih at-Targhib I/298]. Semoga setelah membaca tulisan in,kita bisa menentukan sikap dalam menyikapi perayaan 1 januari sebagai tahun baru. dan sikap kita bukan atas dasar sekedar ikut ikutan , tetapi pilihan kita adalah yang berdasarkan pengetahuan. karena kita sadar betul bahwa semuanya akan dimintai pertanggungan jawab di Yaumil Hisab kelak.

Minggu, 28 April 2013

lemahnya penegak hukum di indonesia

LEMAHNYA PENEGAKAN
HUKUM DI INDONESIA Penyakit yang melanda negara ini bukan disebabkan karena Tsunami dan gempa yang berkekuatan 8,7 SR, bukan juga karena meletusnya gunung Merapi atau bahkan karena kebakaran hutan. Tetapi penyakit yang sedang dialami oleh bangsa ini disebabkan karena degradasi nilai- nilai dan moral pancasila. Hal tersebut sangat mengkhawatirkan, karena degradasi nilai-nilai dan moral pancasila telah terjadi diseluruh elemen masyarakat. Dari mulai para profesional, tokoh masyarakat, para terpelajar, para pendidik, elit politik, bahkan hingga para pemimpin bangsa dan negara. Fakta yang telah menunjukan dari degradasi tersebut adalah pornografi dan pornoaksi yang makin vulgar ditunjukan oleh kalangan muda hingga elit politik, tindakan KKN dimana-mana, kasus mafia hukum dan
peradilan yang tak kunjung selesai, gerakan terorisme oleh salah satu kelompok masyarakat indonesia sendiri dan yang baru-baru ini sedang terjadi adalah kasus mafia hukum dan peradilan yang tidak jelas statusnya, bahkan para tindak pidana dapat melarikan diri sampai ke luar negeri. Ironisnya, surat pencegahan ke luar negeri oleh Ditjen Imigrasi Kemenhukum dan HAM dikeluarkan pasca kepergian tersangka dari Indonesia dan itu merupakan buruknya komunikasi di aparat penegak hukum. Selain itu, guna menghindari rumah tahana, sudah menjadi tren yang cukup lama para tersangka kasus korupsi berkelit dengan alasan sakit. Itu semua merupakan sedikit contoh kecil dari gunung es degradasi nilai-nilai dan moral Pancasila telah terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dewasa ini. Belakangan ini, dapat terlihat bagaimana sebenarnya keadaan penegakan hukum di Indonesia yang kian lama kian memburuk. Hal tersebut dipicu oleh lemahnya penegakan hukum seperti pada kasus dana talangan Bank Century, skandal Nazarudin, kasus Nunun Nurbaeti, kasus pegawai pajak Dhana Widyatmaja hingga kasus pemerintah daerah Tanjung Jagung Timur yang hingga saat ini belum terselesaikan. Melalui hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) diketahui bahwa persepsi publik terhadap kondisi politik dan hukum di Indonesia terus memburuk. Salah satu sebab utama dari penurunan persepsi publik terhadap kondisi politik dan penegakkan hukum di Indonesia adalah kian maraknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan para elite politik, seperti kasus cek pelawat dan kasus dugaan suap Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam pembangunan Wisma Atlet SEA Games. Penilaian buruk itu tidak hanya berdasarkan dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada pertengahan Desember 2011, tetapi publik juga menilai kinerja pemerintahan dalam pemberantasan korupsi buruk atau sangat buruk dengan proporsi di bawah 50 persen. Padahal, data longitudinal sejak 2005 sampai 2011 menunjukkan proporsi sikap positif publik senantiasa lebih besar dalam isu penanggulangan korupsi yang pada tahun-tahun sebelumnya menunjukan kinerja yang baik dengan mengungkap
dan menuntaskan kasus-kasus korupsi seperti Gayus yang saat ini sedang menjalankan hukumannya. Penanggung jawab penurunan kepercayaan publik ini bukan hanya pemerintah, tetapi semua pihak yang secara langsung berkaitan dengan penegakan hukum, seperti integritas lembaga penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan Agung, pengadilan termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena apa yang dinilai buruk dalam demokrasi Indonesia berkaitan dengan tata kelola pemerintahan, terutama dalam penegakan hukum (rule of law), dan pengawasan terhadap korupsi. Data Governance Indicator World Bank 2011 menunjukkan, dalam sepuluh tahun terakhir demokrasi Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti dan masih tetap negatif. Dengan banyaknya kasus korupsi yang terjadi dalam pemerintahan, kepastian hukum rendah, regulasi yang tidak berkualitas, dan inefisiensi penyelenggaraan negara. Jika keadaan ini terus berlanjut, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi akan menurun. Sampai akhir tahun 2009, kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi sangat tinggi, yaitu mencapai angka 83,7 persen dimana banyak kasus korupsi yang dapat terungkap dan terselesaikan. Namun, sejak Januari atau 10 bulan terakhir terjadi penurunan kinerja pemerintah yang tajam sampai 34 persen. Penurun kinerja para penegak hukum terlihat dari beberapa kasus yang ditangani, seperti Bank Century, kasus cicak dan buaya, atau kasus mafia hukum lainnya dan bahkan sangat terlihat dari munculnya kasus suap ketua hakim untuk membebaskan satu pihak yang bersalah. Adanya permainan politik juga menjadi faktor penyebab munculnya berbagai kasus suap untuk melindungi para tindak pidana kelas kakap untuk lepas dari jerat hukumnya. Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia sebenarnya hanya sebagian kecilnya dapat terungkap, untuk kasus-kasus yang lebih besar belum dapat terungkap karena masih dilindungi oleh para tangan kanannya
yang terlebih dahulu terjerat kasus. Lembaga penegak hukum seperti hakim pun kini dapat dibayar untuk melepaskan para koruptor dari jerat hukumnya. Sedang kan untuk rakyat biasa yang tidak berkecukupan di beri hukuman yang berat hanya karena seorang nenek mencuri beberapa biji kopi dari perkebunan. Kasus ini sebenarnya tidak layak untuk masuk ke dalam meja hijau. Hal ini mencerminkan bahwa penegak hukum di Indonesia, sangat tidak bermutu karena tidak bisa memilah mana kasus yang seharusnya masuk ke pengadilan dan mana kasus yang seharusnya dapat di selesaikan secara
manusiawi. Sungguh sangat ironis, jika menjabar kasus-kasus seperti itu yang masih saja terjadi hingga saat ini. Masyarakat juga menilai, hukuman terhadap koruptor sejauh ini tidak adil. Rakyat umumnya menginginkan koruptor dihukum seberat-beratnya, setidaknya dihukum seumur hidup, untuk menciptakan efek jera dan tak akan tumbuh koruptor-koruptor yang baru yang berani mengambil uang rakyatnya. salah satu aspek yang jarang dilihat dalam pemberantasan korupsi adalah sistem pemenjaraan atau lembaga pemasyarakatan. Hukuman sosial juga penting bagi terpidana koruptor agar berefek jera. Penilaian yang buruk terhadap integritas lembaga penegak hukum sebenarnya sudah tidak asing lagi. Lembaga survei lain, seperti Transparency International, juga pernah menilai tingkat korupsi di Indonesia yang semakin meningkat. Untuk dapat mengatasi permasalahan tersebut salah satunya adalah dengan mensinkronkan antara sistem, pembuat hukum dan pelaksananya. Selain itu, dengan diterapkannya hukuman dengan memiskinkan para terdakwa kasus mavia hukum. Sanksi ini bertujuan untuk para calon koruptor dan terdakwa jera untuk melakukan korupsi. Karena apabila ketiga komponen utama dalam hukum tersebut sudah sinkron, maka negara akan sembuh kembali seperti semula. Dari kasus di atas, dapat digambarkan bagaimana sebenarnya keadaan penegakan hukum di Indonesia. Maka perlu adanya strategi yang harus dilakukan agar kasus-kasus hukum dapat diminimalisir, salah satunya dengan adanya transparansi penyidikan. Masalah transparansi proses penyidikan sangat penting dilakukan untuk membangun integritas lembaga penegak hukum yang bersih. Tanpa adanya transparansi penyidikan, penyalahgunaan kewenangan dan praktik koruptif mudah saja terjadi didalamnya. Oleh karena itu, transparansi penyidikan dalam penegakan hukum perlu terus dibangun dan dikembangkan untuk menjaga dan mengontrol integritas penegak hukum. Tidak hanya transparansi penyidikan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan dan praktik koruptif, tetapi untuk pencegah tindak korupsi perlu diadakannya transparansi sistem pembayaran dalam pemerintahan agar uang rakyat tidak masuk ke dalam kantong para pemilik kekuasaan. Dengan dibuatnya sistem pembayaran pajak yang langsung masuk ke dalam kas negara tanpa perantara pegawai pajak akan dapat meminimalisir kasus korupsi dalam institusi perpajakan Indonesia.